oleh

Tiga Alasan Tolak PLTA Lindu

Oleh : Felix Torae Rore*

(Mahasiswa Universitas Tadulako)

SIGI – Diskusi malam di pinggir Danau Lindu pada tanggal 12 Juni 2021, menjadi titik tolak mengambil beberapa alasan paling mendasar dari penolakan masyarakat Lindu terkait rencana Pembangunan PLTA berkapasitas 76 Mw. Ketiga alasan tersebut adalah Pertama, Masyarakat Lindu akan di Resettlement. Kedua, Aspek Lingkungan dan Sosial. Ketiga, rawan terjadi gempa bumi.

Konflik panjang yang terjadi antara 1989-1997, telah memberi banyak cermin kejadian mengenai praktek-praktek pengorganisian, baik di desa maupun di kota. Ini bisa dilihat dengan begitu antusiasnya masyarakat mengikuti diskusi sejarah panjang kesuksesan masyarakat dalam melakukan perlawanan. Bukan saja mereka yang sudah memang mengalami kisah tersebut, namun dari beberapa yang peserta masih duduk di bangku sekolah SMP dan SMA.

Kembali ke tiga alasan penolakan diatas, mengingat kisah Masyarakat Lindu Versus PLTA sudah terjadi sekitar 20-an tahun lalu, bukan berarti semua alasan penolakan tersebut tidak lagi berlaku untuk sekarang. Di mana rencana pembangunan PLTA terus digaungkan pemerintah untuk mencukupi kebutuhan listrik di Sulawesi Tengah.

Dari data Potensi Listrik dan sumber daya mineral Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2019, disebutkan ada 12 titik rencana pembangunan PLTA dengan jumlah kapasitas 2.366 Mw. Dan diakhir-akhir ini, isu pembangunan PLTA baru akan di bangun sungai lariang yakni PLTA Salo Pebatua 2.

Pertama, Resettlement

“Tahun 1988, sebuah studi kelayakan dikerjakan atas kerja sama konsultan Perancis Coyne et Bellier dan PT Yodya Karya dari Indonesia, dengan dukungan dana dari IBRD (International Bank for Reconstruction and Development). Laporan resmi studi ini sudah dikeluarkan tahun 1989. Tahun 1993, laporan akhir studi Analisa Dampak Lingkungan (Andal) telah selesai dikerjakan oleh PT Pratama Widya. Laporan-laporan itu menyebutkan bahwa empat desa yang berada di dataran Lindu harus ditenggelamkan bersama dengan kekayaan sumber daya alam. Karena, bendungan (dam) akan dibangun di mulut Danau Lindu” (Seprak YTM).

Secara umum, pemindahan penduduk akibat pembangunan PLTA memang mesti harus dilakukan, karena akan terjadi penenggelaman perkampungan dan daerah olahan petani seperti persawahan dan perladangan. Di lindu dengan total luas rencana pembangunan PLTA mencapai 10.000 hektar melalui pelepasan kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Dampaknya 200 Kepala Keluarga terancam direlokasi ke daerah transmigrasi yaitu Lalundu, Kabupaten Donggala dari pengakuan Gubernur Abdul Azis Lamadjido.SH.

Keberhasilan masyarakat Lindu pelakukan penolakan pembangunan PLTA dengan alasan “Menolak Pindah” tentu menjadi satu pukulan telak kepada pemerintah, mengingat kampanye pembangunan yang selalalu mereka elu-elukan adalah untuk mengsejahterakan masyarakat Lindu pada umumnya.

Kedua, Lingkungan dan Sosial

Daerah Lindu merupakan kawasan yang masuk dalam Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), sesuai dengan kalimat akhir dari pembentukan kawasan konservasi tersebut, sungguh aneh jika penamaan Lindu ada dalam taman nasional, sedangkan di wilayah Lindu sendiri terdapat bendungan PLTA. Sedangkan dalam peraturan konservasi tidak diizinkan ada aktivitas apapun dalam kawasan hutan konservasi.

Luas danau Lindu mencapai 34,88 km² dengan kedalaman rata-rata 38 meter dan berada di ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan air laut (Wikipedia). Dalam penerbiatan andal resmi perusahaan, PLTA tersebut akan membangun bendungan dengan panjang 50 meter dan tinggi 7 meter, penaikan permukaan air sekitar 2 meter.

Luas lahan yang dibutuhkan PLTA hanya sekitar 892 hektar, atau sekitar satu persen dari luas TNLL. Tetapi, masalahnya adalah areal hutan sekitar 10.000 hektar taman nasional diperlukan untuk pembangunan bendungan (regulating weir), terowongan (tunnel) berdiameter 2,9 meter sepanjang 9,4 kilometer, dan pembangunan jalan masuk menuju Danau Lindu sepanjang 23,5 kilometer dengan lebar 12 meter (Seprak YTM).

Dengan catatan diatas, alasan menyebutkan bahwa pembangunan PLTA Lindu tidak berdampak pada lingkungan tentu salah, selain merubah fungsi kawasan yang dilarang pihak kehutanan. Disisi lain ada ribuan hewan endemik yang dilindungi keberadaannya. Masalah lingkungan bukan saja soal hutan dan isinya, tapi ada mahluk hidup yang menggantungkan hidupnya untuk hidup dan mencari makan.

Masalah sosial lainnya adalah masyarakat di empat desa dengan populasi 3.781 jiwa (2001) akan direlokasi. Bukan saja isu relokasi yang bermasalah, tentu penyediaan lingkungan baru dan tempat tinggal baru pasti bermasalah, mengingat latar belakang masyarakat Lindu adalah petani dan nelayan di Danau, tidak mungkin pindah ke Daerah Lalundu yang latar belakang adalah daerah perkebun sawit.

Antara News edisi Jumat 22 Februari 2019 menyebutkan bahwa transmigrasi pertama ke daerah Lalundu berlangsung antara Tahun 1991, dan industrialisasi perkebunan sawit mulai masuk pada tahun 1997. Artinya masuk akal saja jika Masyarakat Lindu pada massa itu memang disiapkan untuk menjadi kelas pekerja Perusahaan Sawit.

Tanggal 12-13 Juni 2021, lalu lalang perahu kecil nelayan disekitaran danau terus beraktivitas hampir 1×24 jam mencari ikan untuk dijual mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Kiri-kanan di pinggiran jalan terbangun sawah luas dan perkebunan masyarakat. Rumah terbangun dengan dinding batako dan atap seng, rasanya memang kesuksesan melawan rencana pembangunan PLTA dibayar dengan berkat yang tidak berkesudahan lewat kehidupan yang semakin baik dialami petani.

Ketiga, Rawan Terjadi Gempa Bumi

Kabupaten Sigi bukan daerah yang asing lagi terkait aktivitas gempa bumi, tercatat dari data BMKG Geofisika Palu, kurun waktu sepekan yakni 30 April hingga 4 Mei 2021, sudah terjadi 28 kali gempa, dan kekuatannya beragam mulai dari Magnitudo 2-4,9.

“Danau Lindu adalah contoh danau di Indonesia yang berdasarkan sains, sejarah, dan kesaksian warga pernah mengalami tsunami. Dalam bahasa suku kaili, kata Lindu berarti Gempa (mirip seperti bahasa jawa). Berdasarkan laporan Abendanon (1917), kejadian gempa bumi tahun 1909 memicu terjadinya gelombang air besar (tsunami) di Danau Lindu. Gempa bumi 1909 menghasilkan goncangan yang terasa mulai dari bulan Februari hingga akhir Juli 1909. Goncangan paling kuat terjadi pada bulan Februari 1909. Goncangan di bulan Juli terasa hingga ke Donggala pada 18 Maret 1909, pukul 6:30 pagi. Gempa bumi kuat terjadi antara wilyah Kulawi hingga Gimpu” (Kumparan.com 25 Juli 2019).

Koran terbitan media formasi bulan Desember 1999, menjelaskan alasan penolakan pembangunan PLTA Lindu karena berkaitan dengan garis patahan yang membentang dari Bolaang Mongondo sampai ke Palopo melalui kawasan Lore Lindu. Dikatakan juga bahwa memang daerah Lindu adalah daerah Rawan Gempa. hal tersebut lebih diperkuat dengan data lain, misalkan gempa yang terjadi pada 18 Agustus 2012 berkekuatan 6,2 Magnitudo, menewaskan tiga orang masyarakat Desa Tomado.

Belum bisa terbayangkan apabila bendungan PLTA Lindu berhasil dibangun dan terjadi Gempa berkekuatan 7,4 Skala Richter pada 28 September 2019 Silam. Bukan saja tanah longsor, reruntuhan bangunan dan banjir yang mengancam masyarakat Kulawi dan sekitarnya.

Cerita mengenai bendungan yang jebol akibat Gempa Bumi bukan hanya isapan jempol belaka, kejadian seperti di Jepang yaitu Bendungan Fukushima dan Bendungan Clarence River di Selandia Baru, yang sama-sama jebol setelah Gempa Bumi berkekuatan tinggi.

Dari cerita diatas, pembangunan PLTA bukan saja soal kepentingan daya listrik di Sulawesi Tengah, tapi bagaimana faktor pengerjaannya juga melihat ketiga aspek yang semua berkaitan langsung dengan manusia di sekitarnya. Karena jangan sampai mementingkan listrik, manusia di sekitar dijadikan tumbal pembangunan.

*Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan