Celebesta.com – Makassar, Banjir dan longsor menerjang beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan yaitu di Kabupaten Luwu, Wajo, Sidrap, Soppeng, Enrekang, Pinrang, Toraja dan Bulukumba. Banjir dan longsor terjadi pada hari yang bersamaan di Kabupaten Luwu, Sidrap, Wajo, Enrekang dan Kabupaten Pinrang akibat kerusakan hutan yang terjadi di area gunung Latimojong.
Kerusakan hutan yang terjadi di area gunung Latimojong berawal dari lahirnya konsesi-konsesi tambang. Dalam kondisi krisis dan kritis, Pemerintah Pusat hingga Provinsi Sulawesi Selatan terus mengoleksi dan mengeluarkan konsesi-konsesi pengelolaan hutan di wilayah-wilayah penyangga termasuk Pegunungan Latimojong.
“Berkurangnya tutupan hutan di bentang pegunungan Latimojong akibat aktivitas tambang tidak lepas dari keterlibatan pemerintah daerah. Sebagian besar dari kita kemungkinan masih mengingat peristiwa tahun 2015 saat ditangkapnya Kepala Dinas Kehutanan Luwu dan mantan Kepala Desa Mappetajang, Kecamatan Bassesangtempe (Bastem) yang terlibat kasus pemberian izin dan pembalakan hutan lindung tahun 2013,” ucap Rizki Angriani Arimbi, Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulsel dalam siaran persnya, Rabu (15/5/2024).
Kabupaten Luwu, Sidrap, Wajo, Enrekang dan Kabupaten Pinrang memiliki bentangan penyangga yang sama yaitu Pegunungan Latimojong yang merupakan gugusan pegunungan Verbeek dengan berbagai keunikan di dalamnya.
Longsor dan banjir yang terjadi di kabupaten-kabupaten dalam bentangan pegunungan Verbeek Latimojong bukanlah hal yang baru terjadi. Begitu juga di Kabupaten Luwu. Meskipun tragedi di awal Mei 2024 menjadi salah satu bencana yang terbesar dan memilukan.
Bentang Verbeek Latimojong telah ditetapkan sebagai kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan yang berada di bawahannya yang tercantum dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 3 Tahun 2022 dan Peta InaRisk BNPB menetapkan bentang Pegunungan Latimojong merupakan wilayah rawan bencana banjir dan longsor tingkat sedang hingga tinggi.
Namun, alih alih membuat rencana mitigasi bencana pada area tersebut, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Luwu dan beberapa kabupaten lainnya justru membuka konsesi tambang dan gagal mencegah alih fungsi lahan secara besar-besaran.
Abainya pemerintah dalam melaksanakan kewajiban tersebut, berdampak pada banjir yang semakin meluas. Tren peningkatan banjir terjadi 4 tahun terakhir di enam kabupaten Sulsel. Tahun 2024 ini banjir dan longsor menyebabkan lebih 11.500 Kepala Keluarga. Parahnya, dari angka tersebut ada 27 orang tewas, 1 diantaranya adalah balita.
“Pemerintah seharusnya tidak membuka konsesi-konsesi pada area hutan yang menjadi kawasan penyangga air yang apabila mengalami kerusakan akan berdampak buruk terhadap lingkungan. Abainya pemerintah dalam memitigasi bencana ini berdampak pada banjir dan longsor yang semakin tahun semakin parah, setiap musim penghujan, banjir dan longsor sebenarnya sudah sering terjadi pada tahun-tahun sebelumnya,” ungkap Muhammad Haedir, Direktur LBH Makassar.
“Situasi ini tidak dijadikan pembelajaran oleh pemerintah untuk menjalankan kewajibannya dalam rangka melakukan pengurangan resiko bencana, salah satunya dengan berupaya memulihkan fungsi lingkungan di pegunungan latimojong,” tambahnya.
Banjir dan longsor yang terjadi pada enam kabupaten di Sulsel menyebabkan ribuan hektar lahan pertanian milik warga tergenang banjir dan gagal panen.
Pegunungan Latimojong merupakan gunung tertinggi di Pulau Sulawesi dengan tujuh puncak yang dimilikinya. Potensi petaka bencana banjir dan longsor bersumber dari kerusakan ekologis yang disebabkan penggunaan bentang pegunungan sebagai atap dan tiang penyangga serta hulu bagi tak kurang dari lima kabupaten di Sulawesi Selatan berada dalam kondisi yang memprihatinkan.
Hamsaludin, Direktur Perkumpulan Wallacea mengatakan bahwa situasi korban bencana ekologis sangat miris. Pasca bencana, pemerintah tidak sigap dan lambat menyediakan lokasi pengungsian untuk para korban bencana.
“Warga dari Kecamatan Latimojong bahkan meninggalkan desanya karena ketakutan adanya longsor susulan dan terancam terisolir,” tegas Ancha sapaan akrabnya.
Lebih lanjut, Ia mengatakan bahwa proses evakuasi korban sangat lambat. Berdasarkan hasil pemantauan Wallacea, banyak warga yang harus mengevakuasi dirinya sendiri dengan berjalan kaki puluhan kilometer tidak terkecuali anak-anak dan perempuan. Hal ini mereka lakukan karena tidak adanya tanda-tanda evakuasi melalui jalur darat, sedangkan evakuasi menggunakan helikopter sangat terbatas dan hanya berlangsung beberapa hari saja.
Bencana ekologis di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan terus berulang dan terlihat seperti peristiwa biasa yang hanya menjadi perhatian saat tanggap darurat kemudian dilupakan setelahnya. Kembali menjadi peristiwa dan tragedi saat bencana terjadi lagi.
“Tak ada upaya mengevaluasi situasi dari bencana ekologis apalagi melahirkan sebuah bentuk mitigasi yang terstruktur dan sistematis. Justru yang terjadi sebaliknya, berbagai kebijakan yang disebut sebagai pembangunan yang melahirkan mimpi buruk di masa lalu, saat ini dan masa depan yang tak berkesudahan,” tutupnya. (*)
Komentar