oleh

RTRW Kota Palu, Bagaimana Mitigasi Bencana?

Oleh : Richard Labiro*

PALU – Saat menyaksikan secara langsung Rapat Dengar Pendapat Para Fraksi para Perwakilan Rakyat Palu di DPRD Kota Palu serta paripurnanya yang dihadiri Walikota Palu terpilih. Saya, menjadi resah akan masa depan Kota Palu yang dimuat dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palu. Sebab, menurut pendapat pribadi, RTRW tersebut dibuat tergesah-gesah tanpa pelibatan masyarakat luas dan kajian yang mendalam.

Kita perlu kembali mengingat, bahwa RTRW Kota Palu dibuat atas semangat mitigasi bencana. Karena, kita semua telah merasakan bencana yang luar biasa saat 28 September 2018 silam. Maka itu, sudah seharusnya pertimbangan RTRW Kota Palu mengikuti logika mitigasi bencana. Namun, saya belum menemukan hal tersebut diseriusi dan diakomodasi dalam RTRW Kota Palu.

Bahkan, dalam rapat, semangatnya adalah mengakomodir tambang ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah.

Kita tahu semua, bahwa, Kota Palu memiliki dua aktivitas tambang besar. Yaitu tambang Galian C di Buluri dan Watusampu dan tambang emas di Poboya. Keberadaan tambang tersebut memang mesti diakui oleh semua pihak. Namun, bukan hanya sekedar berbicara perizinanya secara administratif dan keuntungan yang diperoleh. Tetapi, yang harus kita tekankan adalah bagaimana aktivitasnya bisa berakibat bagi kerusakan lingkungan hidup dan kebencanaan, itu yang mesti menjadi perdebatan serius dikalangan politisi kita.

Bukan rahasia lagi, jika tambang yang dikontrol oleh Perusahaan menimbulkan dampak lingkungan yang parah. Seperti longsor akibat tidak dilakukanya reklamasi pasca tambang dan abu serta limbahnya yang berdampak pada masyarakat, misalnya tercemarnya air bersih dan udara.

Untuk dampak bencananya, Kota Palu memiliki Sesar Palu Koro yang masih aktif walaupun guncangan dasyatnya sudah kita lalui. Tetapi kekhawatiran kita, aktivitas tambang ini bisa saja memicu terjadinya bencana lain seperti longsor. Apalagi, tambang emas di Poboya berada di daerah rawan bencana gerakan tanah tinggi. Selain itu, aktivitas tambang milik perusahaan mesti mendapatkan pengawasan serius.

Mengingat tambang ini berada di Kawasan Pelestarian Alam Taman Hutan Raya yang mana ini adalah Hutan Konservasi. Tentu kawasan ini mesti diproteksi dari aktivitas ekstraktif yang berdampak pada hilangnya daya dukung dan daya tampung lingkungan di kawasan itu.

Saya mengingat kembali sebuah reportase di salah satu media online yang memuat hasil Ekspedisi Palu Koro dan pendapat penggiat literasi bencana. Dikatakan bahwa, Pemerintah baik skala Provinsi dan Kota gagap soal bencana alam. Padahal, literasi sejarah kebencanaan kita tersimpan sangat baik. Sebut saja ekspedisi Abendanon dan kajian Sarasin bersaudara yang menamai pertama kali Sesar ini dengan sebutan Fossa Sarasina. Belum lagi kajian Pak Abdullah dan Prof. Katili maka sudah sepantasnya, Kota Palu dibangun dengan dasar mitigasi bencana yang matang.

Sebenarnya, kita memiliki referensi bencana yang cukup luas dan lengkap. Dan menurut saya, mestinya Tata Ruang Kota Palu mesti menjadikan referensi bencana itu sebagai dasar akademiknya. Artinya, semua hasil kajian yang sudah ada mesti terinput dalam Tata Ruang kita apapun dokumenya. Entah itu Perdanya, RTRWnya, RDTRnya, Petanya, bahkan RKL-RPLnya. Jika hal itu terjadi, maka pembangunan mesti tunduk pada disaster-ekologi, bukan sebaliknya.

Namun kenyataanya berbeda, semangat memasukan tambang pada RTRW Kota Palu adalah semangat akumulasi modal dan mitigasi bencana belum dibahas secara serius. Hal ini dikarenakan, Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law meliberalisasikan RTRW Kota Palu. Dan sepertinya, tidak ada hak otonom bagi Pemerintah Daerah untuk menjadikan RTRW sebagai payung pembangunan yang mengikuti logika kebencanaan dan lingkungan.

Maka, tepatlah yang dikatakan para ahli sebelumnya, bahwa Pemerintah merupakan panitia pelaksana bagi kelas pemodal.

Saya berharap, RTRW Kota Palu bisa dikaji kembali secara partisipatif dengan mengkaji lebih mendalam struktur ruang kita yang dimana kita hidup di atas Sesar dan dikelilingi pertambangan.

*Penulis adalah Akademisi di Fisip, Untad.

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan