oleh

Bank Tanah, Ancaman Bagi Sumber Kehidupan Perempuan di Poso

POSO – Celebesta.com, Pemerintah menyederhanakan beberapa regulasi menjadi Undang-undang Cipta Kerja dengan tujuan mempermudah investasi di Indonesia.

Seperti pembentukan Badan Bank Tanah dan selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 dan Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggara Bank Tanah.

Saat dihubungi celebesta.com, Minggu (24/09/2023) Ananda Farah Lestari, Koordinator Program, Solidaritas Perempuan Palu mengatakan bahwa Badan Bank Tanah merupakan badan khusus yang mengelola tanah serta berfungsi untuk melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pendistribusian tanah.

Menurut Nanda sapaan akrabnya, tanah yang berada dalam penguasaan Badan Bank Tanah diberikan dengan status Hak Pengelolaan.

Hak Pengelolaan yang dimiliki oleh Badan Bank Tanah dapat diberikan kepada instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Bank Tanah itu sendiri, BUMN/BUMD, Badan Hukum Milik Negara.

“Melihat dari karakteristik pihak yang dapat diberikan Hak Pengelolaan oleh Badan Bank Tanah tentunya sangat beriorentasi  mencari profit karena mengutamakan kepentingan pembangunan nasional,” terang Nanda.

Selanjutnya implementasi kebijakan ini terlihat dibeberapa daerah, salah satunya di dataran Tinggi Lore Kabupaten Poso Sulawesi Tengah di Desa Alitupu, Winowanga, Maholo dan Watutau serta di area lahan eks HGU PT SIL seluas 7.740 ha.

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari  banktanah.id disebutkan bahwa profil aset bank tanah yang diklaim di Kabupaten Poso seluas 6.648 ha dan berlokasi di Desa Alitupu, Winowanga, Maholo, Kalimago dan Desa Watutau yang terbagi di dua kecamatan, yaitu Lore Timur dan Lore Piore.

Kemudian, dari total luas HGU (Hak Guna Usaha) sebesar 7.740 ha; ada 4.079 yang dianggap tidak ada penguasaan tanah, tanah yang dikuasai masyarakat seluas 3.213, 05 ha, tanah berbadan hukum seluas 224, 29 ha, tanah pemerintah seluas 12, 26 ha dan tanah negara yang dikuasai negara seluas 7,17 ha.

Sementara itu, menurut Isna Ragi, Kepala Divisi Penguatan Organisasi Solidaritas Perempuan Palu bahwa Bank tanah akan dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan perkebunan yang disesuaikan dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) seperti Hutan Produksi Terbatas (HPT), kemudian kawasan perkebunan yang ditanami kopi dan kakao dan kawasan pertanian lahan kering yang ditanami cabai, kubis, pisang, tomat, bawang merah, ubi kayu, sawi dan durian.

Selesai masa berlaku HGU PT. Sandabi Indah Lestari (SIL) tanah tersebut di klaim oleh Bank Tanah. Namun dalam prosesnya Bank tanah di kabupaten Poso tidak melakukan sosialisasi kepada masyarakat secara umum terkait pematokan serta abai melihat relasi sosial-budaya yang telah lama hidup didataran tinggi Napu.

“Sebelum adanya HGU, tanah tersebut merupakan tanah adat, yang digunakan untuk pengembalaan kerbau dan lahan pertanian masyarakat. Hal ini yang dilihat menjadi salah satu praktik perampasan tanah yang dilakukan oleh negara terhadap wilayah perempuan dan masyarakat, untuk memfasilitasi kepentingan investasi,” ungkap Isna.

Beberapa waktu lalu, Forum Masyarakat Lamba Bersatu melakukan protes atas kehadiran Bank Tanah di Desa Watutau, Kecamatan Lore Piore Kabupaten Poso. Protes mereka memuat tuntutan kepada pihak bank tanah yang telah memasang patok-patok di lahan pertanian, perkebunan dan larangan memanfaatkan lahan dan meminta melakukan sosialisasi terkait Bank Tanah.

Forum ini menuntut pihak bank tanah untuk menghentikan aktivitas di lahan-lahan warga yang diakui oleh masyarakat sebagai  klaim sebagai wilayah adat.

“Kehadiran Bank Tanah di Desa Watutau menciptakan resiko dan kerentanan tinggi bagi perempuan dan masyarakat karena mereka akan kehilangan tanah sebagai ruang hidup dan sumber-sumber kehidupan perempuan,” jelas Isna.

Sambung Isna, Badan Bank Tanah bukan hanya mematok lahan eks HGU PT. SIL tapi mematok lahan persawahan, lahan perkebunan coklat, kopi, lahan kering yang belum digarap, bahkan beberapa masuk di pekarangan rumah masyarakat.

“Situasi ini memperlihatkan bagaimana negara merampas ruang hidup dan sumber-sumber penghidupan perempuan yang masih jauh dari rasa keadilan pengaturan pengadaan tanah,” terang Isna.

Seharusnya pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum untuk menciptakan keadilan bagi perempuan dan masyarakat, memberikan kepastian hukum atas hak-hak kepemilikan tanah.

“Kalaupun terpaksa kepentingan umum harus didahulukan dari pada kepentingan individu maka kepentingan setiap individu dalam hal ini perempuan harus mendapatkan perlindungan,” harap Isna. (AS)

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan