oleh

Kemiskinan dan Agama, Manakah yang Penting Dibicarakan?

Oleh : Felix Torae

(Mahasiswa Fisip Untad)

PALU – Sebagai Umat yang menginginkan toleransi antar Agama, tentu rasanya selalu berat hati ketika hampir setiap hari telinga selalu diusik dengan adanya oknum-oknum yang selalu mengadu dombakan masyarakat yang berbeda keyakinan.

Resah, karena ujung-ujungnya pasti hanya ketakutan yang selalu didapat oleh masyarakat dan korbannya bukan “Si”  Oknum tadi, melainkan masyarakat kecil-lah yang mendapat efek dari mulut orang tidak bertanggung jawab itu.

Isu Agama adalah hal yang sangat menakutkan, mengingat konflik vertikal yang ditimbulkan bukan saja melahirkan peperangan, tapi juga efeknya selalu adanya rasa perbedaan antar manusia, yang membuat interaksi sosial menjadi buruk alias saling meng-alienasikan kelompok lainnya.

Mungkin suatu hal yang tidak asing lagi untuk didiskusikan mengenai keterkaitan agama dan kemiskinan. Hanya saja selama ini Agama selalu dipakai untuk menghilangkan pikiran kita dengan situasi kondisi yang dialami oleh rakyat jelata. Dimana perhatian kita hanya terus membahas soal siapa yang berhak dan tidak berhak masuk surga maupun neraka.

Padahal perilaku berbuat baik jauh dari kejahatan itu bisa dihapuskan apabila tiada rakyat yang kelaparan. Secara sederhana orang lapar yang tidak punya uang pasti akan melakukan apapun agar ia bisa makan.

Indonesia sendiri merupakan negara dengan angka kemiskinan yang masih tinggi, tercatat dari data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2020, jumlah masyarakat miskin Indonesia berada di angka 27,55 juta orang atau setara dengan 10,19 persen dari total penduduk, naiknya 1,13 juta (0,41 Persen) dari Bulan Maret 2020.

Kontribusi angka kemiskinan naik pasca pandemi Covid-19 yang melanda dunia, kelas pekerja banyak mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau dirumahkan, petani dan nelayan mengalami kejatuhan produktif dalam bekerja karena akses kota yang tidak terjangkau akibat adanya pelarangan bepergian.

Di lain sisi, jika cek di beberapa sumber media dijelaskan pula bahwa angka kriminalitas juga meningkat tajam pasca pandemi virus menular.

Saya kira alasan untuk mengatakan miskin merupakan sebuah takdir bukan jalan keluar dari kemiskinan itu sendiri, melainkan kata yang selalu dibuat pemerintah untuk strategi perlawanan kaum termajinalkan.

Negara ini menaungkan Agama dengan hal-hal yang berbau provokatif, para politikus korup yang dulunya amat didamba-dambakan dengan kalimat berbuat baiklah kesesama manusia, tidak boleh merampok, mengambil hak orang lain. Semua dibungkus dengan ajaran-ajaran kepercayaan, padahal ujung-ujungnya juga tertangkap karena kasus korupsi.

Transformasi pengetahuan dari negara lewat institusi pendidikan tidak juga sukses sepenuhnya, banyak masyarakat miskin yang tidak mampu akses, belum lagi kualitas pendidikan yang tidak menyentuh problem-problem apa saja yang perlu dilakukan ke masyarakat sebagai seorang terpendidik.

Sudah saatnya kesadaran masyarakat diubah ke suatu hal yang lebih penting, yaitu kemiskinan. Daripada waktu kita habis hanya untuk membahas suatu hal yang tidak akan pernah habis untuk dibicarakan, poin pentingnya adalah mencari jalan keluar agar tidak banyak lagi rakyat yang mengalami kelaparan. (*)

*Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab Penulis.

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan