oleh

75 Tahun Indonesia Merdeka, Refleksi dan Tanggung Jawab Mahasiswa Mempertahankan Kemerderkaan

Felix Torae Rore

(Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Tadulako)

75 tahun sudah kita bebas dari belenggu penjajahan negara lain, 350 tahun bukan waktu yang singkat untuk mengembalikan hak bangsa Indonesia dari cengkeraman sistem kolonialisme. Dimana hak-hak kita untuk hidup secara bebas di tanah kita sendiri direbut secara paksa dan brutal oleh negara penjajah.

Memahami kata merdeka karena kita sudah bebas dari masa penjajahan itu tidak cukup, sebaliknya jika kita mengingat kembali dalam isi pidato Soekarno tahun 1962 ia mengucapkan bahwa “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, perjuangan kalian lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”.

Lantas jika kita sedikit menggambarkan maksud dari ucapan di atas, mungkin sederhananya antara melawan senjata penjajah dan melawan kebijakan yang di buat pemerintah Indonesia itu sendiri, dan keduanya berimplikasi tehadap hak medeka rakyat indonesia. Dimana pada massa kolonial hak kita dirampas karena adanya kerja paksa, namun setelah penjajahan berakhir, hak kita dirampas oleh kebijakan yang tidak pro rakyat, namun sebaliknya pro terhadap kaum investasi.

Melihat dari sekilas perjuangan serta kutipan kata di atas tentu, Merdeka adalah sebuah kata yang tidak lebih sama dengan kalimat takdir, nasib, ajal dan jodoh. Karena kata-kata tersebut muncul ketika kita sudah benar-benar tidak bisa keluar dari permasalahan dunia, tapi setidaknya mengerti bahwasannya manusia sendiri yang menciptakan sejarahhnya.

Lalu bagaimana mahasiswa memanfaatkan momen kemerdekaan di zaman ini?

Di kehidupan serba modern dengan mengandalkan teknologi serta ilmu pengetahuan yang semakin maju tiap harinya, seakan membuat setiap orang sudah hidup di fase akhir manusia untuk merasakan perkembangan zaman. Tak sedikit manusia berubah sifat akibat perubahan tersebut dan itu seolah bisa memberikan kita jawaban konkret bahwasannya sifat manusia adalah hasil bentukan dari perkembangan zaman.

Berbicara soal perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan tentu tak luput dari peran penting seorang individu yang menempuh dunia pendidikan, karena lewat yang ia pelajari-lah sebahagian keperluan kita untuk hidup itu di ciptakan. Tak bisa dipungkiri bagaimana seorang terpelajar mampu mengubah dunia, lewat sejarah-sejarah lampau di dunia maupun di Indonesia sendiri, aksi mereka-lah yang mampu merubah perkembangan peradaban setalah dunia pendidikan awal kali ditemukan manusia. Penemuan mesin-mesin, pergerakan melawan penjajah, pembaharuan ilmu pengetahuan, itulah eksistensi mereka.

Di Indonesia sendiri, perubahan demi perubahan mampu dilakukan oleh pemuda terpelajar, contohnya kebangkitan perlawanan di masa kolonialisme yang sebahagian besar di mulai oleh organisasi-organisasi yang di gagas pemuda-pelajar-mahasiswa Indonesia, baik itu yang sekolah di Indonesia maupun yang menempuh pendidikan di luar negeri kala itu. Contohnya seperti organisasi Budi Otomo yang didirikan oleh pelajar-pelajar dari Stovia, yang melakukan kongres pertama pada tahun 1909.

Ir. Soekarno dan Muh. Hatta, adalah dua pemimpin yang berhasil mempraktekan apa yang ia pelajari di dunia pendidikan. Mereka realisasikan untuk berjuang melawan penjajah, menyatukan rakyat Indonesia untuk melawan kolonialisme hingga akhirnya negeri kita yang di jajah kurang lebih 360 tahun bisa dengan merdeka pada tahun 1945.

setiap fase perubahan di negeri ini, kontribusi pelajar/mahasiswa sama sekali tidak bisa dihilangkan, mulai dari kejatuhan Presiden Ir. Soekarno, mundurnya Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun sehingga memunculkan satu fase lagi, yakni Era reformasi. Nah, apa wujud eksistensi mahasiswa di era reformasi?

Aspek paling penting dari fase ini adalah perkembangan ke zaman yang semakin modern, sebab hampir semua aktivitas kita bergantung pada teknologi yang setiap hari mengalami kemajuan.

Begitupun setiap aktivitas mahasiswa, hampir semua selalu dikaitkan dengan kerja dari teknologi canggih, dari proses belajar, kerja tugas bahkan ujian semester. Semua itu produktif dalam aktivitas kampus. Tapi apakah teknologi bisa membantu mahasiswa dalam hal belajar soal kondisi negara kita sekarang.

Contohnya, aksi mahasiswa terhadap penolakan RUU KUHP pada bulan September 2019 silam di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Seingatku selama menjadi mahasiswa di Universitas Tadulako (UNTAD) dari 2016, aksi itu merupakan yang terbesar dalam hal jumlah massa yang turun ke jalan.

Aspek jumlah tersebut merupakan salah satu bukti keberhasilan bagaimana teknologi mampu merubah pikiran seorang mahasiswa. Karena lewat media sosial, kampanye penolakan membesar di seluruh Indonesia, mahasiswa dengan semangatnya saling mengajak bahkan ruang Mata Kuliah pun ditinggalkan. Tapi apakah itu murni karena mahasiswa tau isi RUU KUHP dan  sadar akan implikasinya atau hanya karena ikut meramaikan saja?

Saya kira, aspek yang menentukan akan terjadinya massa yang masif, karena hampir seluruh mahasiswa UNTAD menggunakan media sosial setiap harinya. Meng-update berita viral lalu diteruskan ke teman-teman lain.

Terlepas dari penolakan RUU KUHP, saya kira aktivitas mahasiswa perlu diseimbangkan. Dalam hal belajar mengejar nilai, memanfaatkan teknologi dan yang paling penting adalah mengetahui kondisi terkini bangsa dan merealisasikan pengetahuannya untuk membantu kondisi masyarakat yang terancam hak atau kemerdekaannya di negeri ini.

Entah mendapati infomasi dari mana, yang pasti sumber bacaan dan ruang diskusi sudah tersedia, hanya saja terpatok dari kesadaran mahasiswa itu sendiri, apakah ingin dipengaruhi oleh teknologi atau mahasiswa itu yang mempengaruhi teknologi.

75 tahun Indonesia merdeka, namun isu-isu ketidaksejahteraan petani, nelayan, buruh dan kaum miskin kota masih terus terdengar di telinga, jadi sudah menjadi tugas mahasiswa untuk hadir sebagai seorang Agen perubahan di lingkungannya.

#HidupMahasiswa

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan