oleh

Koalisi Masyarakat Sipil Desak Pemerintah dan DPR Membentuk UU Keadilan Iklim

JAKARTA – Celebesta.com, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim yang terdiri dari Walhi, ICEL, Yayasan PIKUL dan sejumlah organisasi non-pemerintah lainya mendesak dibentuknya Undang-Undang Keadilan Iklim.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim bersepakat memulai agenda untuk mendesak pelaksanaan prinsip dan nilai keadilan iklim dalam peraturan-perundangan yang memastikan penanganan perubahan iklim berbasis hak dan distribusi beban yang adil. Selain itu, merumuskan sejumlah substansi yang nantinya perlu diatur dalam UU Keadilan Iklim.

Menurut Koalisi Masyarakat SIpil untuk Keadilan Iklim bahwa dalam 10 tahun terakhir (2013-2022), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merekam terjadinya peningkatan bencana terkait cuaca dan iklim sebanyak 28.471 kejadian, yang mengakibatkan 38.533.892 orang menderita, 3.5 juta lebih orang mengungsi, dan lebih dari 12 ribu orang terluka, hilang, dan meninggal dunia.

Risiko dan ancaman dampak perubahan iklim di Indonesia akan semakin parah melihat kenaikan suhu bumi telah mencapai 1.1°C sebagaimana dilaporkan dalam laporan sintesa IPCC 2023. Tidak hanya itu, komitmen dan rencana penurunan emisi di tingkat global pun saat ini diproyeksikan belum mampu menahan kenaikan suhu bumi di 1.5°C. Di tengah dampak krisis iklim yang semakin parah, Pemerintah Indonesia belum merespon krisis iklim dengan serius.

Di level kebijakan, instrumen hukum yang ditujukan untuk menangani krisis iklim seperti Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional (Perpres 98/2021) memiliki beragam tantangan dalam implementasinya karena mengalami benturan dari undang-undang sektoral.

Beragam undang-undang sektoral memiliki ketentuan yang cenderung kontradiktif dengan semangat keadilan iklim meskipun Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris. Lebih lanjut, koalisi menilai instrumen hukum yang tersedia saat ini masih belum menyasar kebutuhan penurunan emisi secara signifikan serta peningkatan daya adaptif masyarakat.

“Perpres 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon yang diikuti dengan berbagai pembentukan peraturan baik lewat kementerian dan lembaga saat ini hanya fokus pada mekansime perdagangan karbon. Padahal, kita membutuhkan regulasi yang fokus terhadap penanganan krisis iklim,serta penciptaan keadilan dalam penanganan krisis,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono, dalam konferensi pers di Kantor Walhi Nasional, Jl. Tegal Parang Utara No. 14, Jakarta Selatan, Sabtu (3/6/2023).

Bukan hanya itu, Koalisi untuk Keadilan Iklim mendesak dibentuknya UU Keadilan Iklim untuk merespon kebutuhan pencegahan dan pengendalian dampak perubahan iklim yang komprehensif.

“Dengan mengatur isu krisis iklim yang multisegi dan multi-aktor, UU Keadilan Iklim menjadi urgen untuk disusun. UU Keadilan Iklim harus menjadi kerangka hukum (framework law) yang memuat ketentuan pokok sebagai payung bagi pelaksanaan seluruh kebijakan iklim. Prinsip-prinsip keadilan iklim harus menjadi landasan bagi seluruh pemangku kepentingan,” jelas, Direktur Eksekutif ICEL, Raynaldo Sembiring.

Oleh karena itu, UU Keadilan Iklim sebaiknya juga menjadi suatu bentuk aturan yang terintegrasi dan disusun dalam satu kesatuan dengan memuat peta jalan dan target yang terukur,” sambungnya.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim menyatakan bahwa UU Keadilan Iklim harus bersifat holistik. Pertama memuat prinsip-prinsip keadilan iklim, peta jalan dan panduan pelaksanaannya.

Kedua berisi materi-materi pelaksanaan terintegrasi yang setidaknya terdiri dari mitigasi perubahan iklim, adaptasi perubahan iklim, loss and damage, tata kelola perubahan iklim termasuk sistem dan kelembagaan, penegakan hukum, pembiayaan iklim, hingga mosi publik. Prinsip-prinsip keadilan iklim harus dipastikan terintegrasi dalam materi muatan.

Sementara itu, Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional Walhi mengingatkan bahwa posisi strategis geopolitik Indonesia sebagai negara yang memiliki kawasan hutan terbesar dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa seharusnya membuat Indonesia mampu memainkan peran untuk memimpin negosiasi iklim di tingkat global.

Krisis iklim yang terjadi saat ini disebabkan oleh aktivitas ekonomi ekstraktif, sehingga UU Keadilan Iklim relevan untuk merekonstruksi ulang relasi dan corak ekonomi politik kita sebagai sebuah bangsa, tidak hanya pada level nasional tapi juga ditingkat global.

“UU Keadilan Iklim diharapkan tidak hanya menjadi arah pandu kebijakan pada level Nasional semata, namun juga menjadi mercusuar Indonesia dalam memimpin negosiasi iklim di tingkat global. Sehingga UU Keadilan Iklim ini menyasar masalah utama krisis iklim yaitu ketidak-adilan dari akarnya,” pungkasnya.

Lebih lanjut, Kepala Divisi Kampanye (Anti) Industri Ekstraktif, Eknas Walhi, Puspa Dewy menyatakan bahwa di tengah berbagai inisiatif, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim menekankan pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip keadilan iklim menjadi substansi utama dalam pengaturan terkait perubahan iklim.

“Dengan ini Kami akan mencoba mengembangkan mekanisme penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang dengan judul Keadilan Iklim melalui proses partisipasi bermakna serta mengutamakan partisipasi kelompok marginal dan kelompok rentan”, tutup Puspa Dewy. (*/mk)

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan