oleh

Kenapa Harus Kartini? (1)

Oleh : Citra Racindy*

“Perempuan adalah orang-orang yang berusaha mencerdaskan budi, yang dapat mempertinggi derajat budi manusia”. (R.A Kartini)

Rentetan postingan kaum millenial memeriahkan photo R.A Kartini dengan caption  Selamat Hari Kartini, yang kemudian di indahkan dengan kutipan-kutipan Kartini. Salah satunya adalah “Lebih banyak kita maklum, lebih kurang rasa dendam dalam hati kita dan semakin kokoh rasa kasih sayang. Tiada mendendam itulah bahagia”. Namun ada beberapa juga yang mempertanyakan kenapa harus Kartini? Sedang, pahlawan nasional perempuan itu tidak hanya Kartini saja. Ada Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Rohana Kudus, Malahayati dan lain sebagainya.

Mengapa harus Kartini? Mengapa setiap 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada perempuan Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Kembali mengingat sejarah, Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini, (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Pada dekade 1980-an, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Selanjutnya tahun 1988, masalah ini kembali menghangat, menjelang peringatan hari Kartini 21 April 1988.

Akan tetapi tulisan ini bukan untuk menggugat pribadi Kartini. Banyak nilai positif yang bisa kita ambil dari kehidupan seorang Kartini. Tapi, kita bicara tentang Indonesia, sebuah negara yang majemuk. Maka, sangatlah penting untuk mengajak kita berpikir tentang sejarah Indonesia. Sejarah sangatlah penting. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Al-Quran juga mengungkapkan betapa pentingnya sejarah, demi menatap dan menata masa depan. Ada baiknya, kita lihat sekilas asal-muasalnya. Kepopuleran Kartini tidak terlepas dari buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat Eropanya, Door Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.

Buku ini diterbitkan semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911. Buku ini dianggap sebagai grand idea yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Kata mereka, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu.

Namun beberapa sejarawan mengatakan bahwa itu tidak tepat. Ada banyak wanita yang hidup sezamannya juga berpikiran sangat maju. Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan). Kedua perempuan ini bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus juga menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini. Melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, mereka juga wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda.

Sebagian mengatakan bahwa kemunculan Kartini dimunculkan oleh Pemerintah Belanda. Di awal tahun 1900-an, figur itu diciptakan Pemerintah Belanda untuk mengendalikan kaum perempuan. Pemerintah Belanda saat itu ingin mengatakan bahwa perempuan seharusnya seperti Kartini, yang tidak berjuang memanggul senjata, menurut pada orang tua, dan memakai kebaya. Begitulah sejarah mengatakan, sejarah adalah sesuatu yang sudah terjadi di masa lampau, yang harus kita pahami dan juga pelajari.  Salah satu kutipan yang terkenal adalah sebuah surat yang ia buat untuk Rosa Manuela Abendanon-Mandri tahun 1901, “Kami, gadis-gadis Jawa, tidak boleh memiliki cita-cita, karena kami hanya boleh mempunyai satu impian, dan itu adalah dipaksa menikah hari ini atau esok dengan pria yang dianggap patut oleh orangtua kami.

Menariknya setelah Kartini meninggal, perjuangan untuk mendirikan sekolah untuk perempuan kemudian terwujud atas bantuan teman-temannya di Belanda. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan perempuan agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

Perempuan-perempuan di Indonesia pada dasarnya adalah hebat dan menginspirasi. Pada saat ini Perempuan Indonesia sedang tidak lagi berjuang, perempuan Indonesia harus mampu mempertahankan semangat mereka termasuk Kartini. Semua perempuan bisa sehebat mereka, dimulai dari karakter, pola pikir, hingga semangat juang. Semoga semakin banyak jiwa-jiwa Kartini yang bukan hanya sekadar lisan, tapi tertanam rapi di setiap jiwa perempuan Indonesia yang menciptkan sebuah karya. Kartini tetap menginspirasi sampai saat ini. Terutama dalam hal pendidikan untuk perempuan.

*Penulis adalah Ketua Kohati HMI Cabang Persiapan Deli Serdang 2018-2019.

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan