oleh

KPA: Petani Reklaiming Gedung DPR, Tuntut Omnibus Law Dihentikan

JAKARTA – Celebesta.com, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama organisasi tani anggota di Jawa Barat, Serikat Tani Indramayu (STI), Serikat Petani Pasundan Garut, dan Serikat Petani Pasundan Tasikmalaya kembali menggelar aksi demontrasi untuk melakukan pendudukan (reclaiming) Gedung DPR.

“Sebab DPR tidak sedang mengawasi pemerintah dalam melaksanakan reforma agraria dan penyelesaian konflik agraria yang mangkrak. Sebab DPR telah ingkar pada kesepakatannya dengan Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK)”, jelas Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika melalui siaran persnya, Jumat (14/8/2020).

Pada 16 Juli yang lalu, Wakil Ketua DPR dan Ketua Badan Legislasi (Baleg) menyepakati tidak akan ada pembahasan RUU Cipta Kerja-Omnibus Law semasa reses saat menemui perwakilan massa aksi, KPA bersama aliansi GEBRAK yang terdiri dari buruh, petani, mahasiswa, perempuan dan elemen masyarakat sipil lainnya. Tak lama berselang DPR melanggarnya, dengan melanjutkan pembahasan Omnibus Law.

“Sejak awal digulirkan hingga detik ini, Omnibus Law telah banyak menuai kritik dari berbagai elemen masyarakat. Sebab, RUU ini berwatak kapitalistik, bertentangan dengan ideologi Pancasila dan UUD 1945”, lanjutnya.

Bahkan sejak proses perumusannya cacat prosedural, tertutup, tergesa-gesa, tidak ada prinsip kehati-hatian, diskrimnatif lebih banyak melibatkan KADIN dan kelompok pengusaha. Mengabaikan kelompok kepentingan yang akan terdampak luas oleh RUU ini, seperti petani, buruh dan masyarakat adat.

Dengan dalih penciptaan lapangan kerja, RUU ini sebenarnya jalan pintas Pemerintah untuk memberikan karpet merah kepada badan-badan usaha skala besar, domestik dan asing untuk menguasai tanah dan SDA lebih luas dan mudah. Di dalamnya merancang pula pasal-pasal yang memberikan imunitas kepada kelompok perusahaan perkebunan dan properti yang selama ini telah menelantarkan tanahnya.

“Secara diam-diam, dengan dalih menciptakan norma baru di bidang pertanahan, RUU ini sedang menggantikan UUPA 1960 yang sudah jelas mengatur ketaatan dan sanksi kepada perusahaan pemiliki HGU/HGB. Melanggar pula ketentuan UUPA yang melarang monopoli swasta atas tanah di Indonesia, menyeleweng dari prinsip luhur UUPA yang telah menempatkan fungsi sosial atas tanah”, urainya.

Mengangkat persoalan Omnibus Law hanya sebagai persoalan klaster ketenagakerjaan, adalah upaya penyempitan dan menutupi dampak sosial, ekonomi, budaya, politik sesungguhnya oleh perancang dan pendukung RUU ini.

Harusnya dipahami ini bukan persoalan ketenagakerjaan dan perburuhan saja, sebab Omnibus Law membuka pintu liberalisasi pertanahan dan monopoli tanah tiada akhir lewat pemberian HGU dan HGB langsung 90 tahun bagi korporasi.

Bandingkan di era Belanda, dimana UU Agraria 1870 hanya memberi 75 tahun saja kepada pemilik konsesi perkebunan. 75 tahun saja sudah membuat rakyat Indonesia menderita di masa itu, apalagi jika 90 tahun HGU disahkan. Padahal UUPA kita sudah mengatur HGU/HGB/HP 25-35 tahun saja.

Dengan begitu, RUU Cipta Kerja jelas RUU berwatak neo-kolonialisme. Lebih jahat dari UU di masa penjajahan. Pemerintah dan DPR lupa atau pura-pura tidak tahu, sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi atas UU Penanaman Modal yang sudah menolak 95 tahun HGU. Ironis, sebab DPR adalah penjaga dan penegak Konstitusi Negara.

Omnibus juga akan mengakibatkan abuse of power karena menghidupkan lagi azas domein verklaring yang sudah dihapus UUPA, termasuk menyimpang lebih jauh hak menguasai dari negara (HMN).

Sebab Omnibus ini mengadopsi RUU Pertanahan yang sudah ditunda DPR pada September 2019 lalu, lewat rumusan menyimpang hak pengelolaan (HPL). Kewenangan HPL diberikan kepada lembaga baru Bank Tanah yang akan dibentuk, sebagai jalan penerbitan hak-hak baru (HGU, HGB, HP) bagi kebutuhan investor dan korporasi.

UU terkait pengadaan tanah, kehutanan dan lahan pertanian pangan pun ingin diperkuat Omnibus, sehingga konflik agraria, penggusuran dan pemiskinan struktural di desa-desa akan semakin subur. Jika disahkan, semakin banyak petani dan komunitas adat yang akan ditangkap, didiskriminasi hingga direpresi dengan dalil UU Cipta Kerja.

Dengan demikian, RUU Cipta Kerja jelas tidak hanya mengancam masa depan dan kehidupan kaum buruh, RUU ini juga akan melahirkan bencana bagi kaum tani, masyarakat agraris di pedesaan hingga nelayan kecil di pelosok dan pesisir di tanah air, sebab tanah dan SDA yang menjadi pondasi kehidupan mereka, akan dijadikan barang komoditas dan diorientasikan sebesar-besarnya untuk kepentingan badan usaha raksasa milik swasta dan negara (BUMN), hingga badan usaha asing.

Jika RUU disahkan, promosi menciptakan lapangan kerja baru sesungguhnya adalah landasan hukum untuk menghilangkan mata pencaharian petani, peladang dan nelayan. Tanah yang menjadi alat produksi petani yang utama hendak diakumulasi, dikuasai dan dimonopoli para pemilik modal.

Ploletarisasi petani dan masyarakat agraris akan semakin menjadi-jadi lewat RUU liberal ini. Memonopoli tanah, mendorong liberalisasi agraria di desa-desa adalah cara sistemik menggusur petani dan keluarganya ke jurang perburuhan upah murah di kota-kota dan negeri asing sebagai TKI/TKW. Bukan memberi pekerjaan!

Atas situasi di atas, kami menilai sikap Pemerintah dan DPR yang terus memaksakan pengesahan Omnibus Law di tengah krisis multidimensi (krisis kesehatan, krisis ekonomi hingga krisis pangan) akibat pandemi Covid-19 telah membawa pesan bahwa mereka tidak sedang bekerja untuk rakyat.

DPR dan Pemerintah seharusnya bekerja sungguh-sungguh untuk kepentingan rakyat banyak dari krisis berkepanjangan, bukan maraton bekerja untuk kepentingan investor dan kelompok bisnis.

“DPR harus diingatkan, ada RUU Masyarakat Adat yang penting diprioritaskan bahwa Petani tak butuh RUU Cipta Kerja, Petani butuh Reforma Agraria Sejati agar ketimpangan dan konflik agraria struktural tuntas, hidup aman dan sejahtera di atas tanah sendiri”, tutupnya. (mk)

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan