oleh

Putus Rantai Stigma Corona: Jauhi Penyakitnya Bukan Orangnya

Virus corona atau Covid-19 kini menjadi pelik bagi masyarakat, bukan hanya di Indonesia tapi juga di dunia.

Melansir data dari laman Worldometers, hingga Minggu (3/5/2020) pagi, total kasus Covid-19 di dunia terkonfirmasi sebanyak 3.478.152 (3,5 juta) kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.107.822 (1,1 juta) pasien sembuh, dan 244.461 orang meninggal dunia, (Kompas.com).

Sementara itu, di Indonesia berdasarkan data yang dihimpun hingga Senin (4/5/2020) pukul 12.00 WIB, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia totalnya mencapai 11.587 orang, sebanyak 1.954 orang sembuh, dan 864 orang meninggal dunia.

Dampak dari Covid-19 tidak hanya berpengaruh terhadap sendi ekonomi dan politik, tentu juga terhadap perilaku sosial.

Stigmatisasi Virus Corona Dibenak Masyarakat

Stigmatisasi yang terbangun dibenak masyarakat justru menjadi ketakutan lebih besar ketimbang ketakutan kepada virus corona itu sendiri, apabila ada salah seorang yang terjangkit virus corona, maka secara spontan orang itu dijauhi oleh masyarakat dilingkungan sekitarnya, tentu saja, itu akibat ketakutan yang berlebihan.

Pada teori pemahaman rasa takut yang diungkapkan Solita (1993: 58) sampai dengan tingkat tertentu individu tersebut merasakan takut, maka individu akan menerima tindakan yang dianjurkan. Tetapi jika rasa takut itu sedikit sekali atau justru menjadi semakin kuat, maka individu akan menolak anjuran tersebut.

Pada kasus virus corona ini terlihat jelas pressure kepada masyarakat untuk digiring dengan rasa takut jika saja terjadi penyebaran virus corona secara meluas di Indonesia. Tidak sedikit pula orang yang melayangkan kritik apabila dilakukan penerapan PSSB disebagian wilayah Indonesia.

Mau tidak mau suka tidak suka kenyataannya virus corona telah membawa hubungan sosial terganggu, sehingga menimbulkan rasa takut antara sesama, bahkan kecurigaan.

Dalam mengantisipasi penyebaran virus corona, Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan, mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), larangan mudik, bahkan jika ada yang pulang dari daerah terindikasi virus corona, maka wajib melakukan karantina mandiri selama 14 hari.

PSBB dan karantina mandiri tersebut, mengharuskan orang untuk mengasingkan dirinya, hal inilah yang disebut Karl Marx dengan Alienasi atau Keterasingan.

Berkaitan dengan hubungan sosial, Karl Marx menyatakan bahwa manusia, selain terasing dengan hal-hal yang bersangkut-paut dengan pekerjaannya juga terasing dengan kehidupan sosialnya.

Keterasingan bukan saja diakibatkan eksploitasi kapitalisme terhadap buruh, namun juga diakibatkan oleh wabah virus corona yang berdampak kepada kaum buruh yang menciptakan stratifikasi sosial semakin melebar. Yang kaya akan bertahan yang miskin akan melarat.

Dimana keberadaan kaum pekerja berpotensi mendapatkan PHK, bahkan ada pula yang telah di PHK, akibatnya mereka kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian, terlebih lagi akibat dari virus corona stigmatisasi terbangun dalam pikiran masyarakat bahwa orang yang bisa saja terindikasi harus dijauhi agar tidak terdampak virus corona.

Situasi Virus Corona Membawa Perubahan Sosial

Situasi virus corona dengan berbagai kebijakan dari Pemerintah membawa pengaruh situasi dan kondisi psikologi dan sosiologi masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di wilayah korban yang positif terjangkit virus corona. Anne Kerr dalam bukunya yang berjudul “Genetics and Society: A Sociology of Disease” menjelaskan bahwa fenomena wabah penyakit di masyarakat dapat membuat masyarakat mengalami kecemasan (anxiety) dan ketakutan (fear). (Tempo.co)

Berbagai persoalan yang ditimbulkan oleh virus corona merubah perilaku sosial, hal itu sering dialami oleh mereka tenaga medis, pasien positif corona, orang yang sepulang dari daerah terindikasi (masuk masa karantina). Sebab, ditakuti mereka membawa virus corona dan dapat menjangkiti orang lain.

Sebagai contoh kasus, dibeberapa tempat banyak yang menolak penguburan pasien positif virus corona di daerah mereka, bahkan beberapa perawat sempat diusir dari kos-kosan karena dianggap membawa virus.

Salah satu kasus, seorang lelaki inisal GR yang baru pulang dari Kota Palu dianjurkan untuk melakukan karantina mandiri. Namun, hanya berselang 2 hari dari melakukan karantina mandiri, ketika ibunya ingin membeli sesuatu di salah satu tokoh tidak dilayani oleh penjual, sebab dianggap terjangkit virus dari anaknya yang sepulang dari daerah terindikasi tersebut.

Sehingga, ia mengeluhkan perlakuan dirinya dan keluarga oleh masyarakat disekitarnya. Bagaimana dia bisa makan jika semua orang menjauhi dirinya dan keluarga.

Manusia butuh makan untuk hidup. Seharusnya, jika ada pemberlakuan khusus kepada setiap orang yang baru saja datang dari daerah terindikasi dan melakukan karantina. Apabila orang tersebut dilarang untuk keluar rumah, maka perlu ada jaminan pelayanan agar dirinya tetap menjaga kondisi tubuhnya.

Jika saja perlakuan ini terus berlarut, maka tidak akan menutup kemungkinan bahwa mereka yang mendapatkan stigmatisasi bukan mati akibat virus corona tapi akibat kelaparan.

Tentunya, Satgas tingkat Kabupaten sampai Tim Relawan Covid-19 di Desa perlu memberikan sosialisasi secara masif kepada masyarakat untuk bagaimana bisa memberikan pemahaman sehingga keberadaannya bisa diterima tanpa disudutkan.

Perlu direnungkan, jika saja posisinya adalah diri kita, tentu kita akan dapat dirasakan pergulatan batin yang menyelimuti diri. Hakekatnya manusia tidak bisa hidup sendiri, manusia akan hidup saling membutuhkan satu sama lain, maka jauhilah penyakitnya bukan orangnya.

Oleh: Miftahul Afdal

Penulis merupakan Mahasiswa Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tadulako.

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan