oleh

Seolah-Olah Tanah Papua Kosong

Celebesta.com – Jakarta, Sejak proyek ini dicanangkan dan kedatangan Presiden Jokowi, Pusaka Bentala Rakyat dan LBH Pos Merauke belum menemukan adanya informasi dan dokumen kajian sosial dan kajian lingkungan hidup strategis, yang semestinya dilakukan sejak awal sebelum proyek dimulai.

Pemerintah juga belum melakukan pemberian informasi dan mendapatkan persetujuan masyarakat adat secara luas dalam proses dan penerapan PSN pengembangan gula, bioethanol dan perluasan lumbung pangan, yang akan mempengaruhi sistem kehidupan masyarakat adat dan ekosistem pada wilayah adat.

Pengabaian negara atas hak masyarakat adat untuk membuat keputusan ini melanggar prinsip
Free Prior Informed Consent (FPIC) dan peraturan perundang-undangan, seperti Pasal 43, UU Nomor 21 Tahun 2001 jo UU Nomor 2 Tahun 2021 terkait perlindungan hak-hak Masyarakat Adat.

Teddy Wakum, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Papua Pos Merauke mengatakan bahwa kami mendengar keluhan dari masyarakat adat. Mereka mengalami tekanan dan terdampak proyek, sebagaimana disampaikan masyarakat adat Marind, Yeinan, Kimahima dan Maklew, penduduk asli Papua yang mendiami sebagian besar wilayah Kabupaten Merauke.

“Kami menilai proyek ini berpotensi melanggar hak asasi manusia, menyangkut hak hidup masyarakat adat, hak atas tanah dan hutan adat, hak bebas berekspresi, hak bebas untuk menentukan pembangunan yang berlangsung di wilayah adat, hak atas pangan, hak atas kekayaan dan pengetahuan intelektual, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” jelas Teddy Wakum.

Seolah-olah Papua Tanah Kosong, Pemerintah memberikan rekomendasi dan izin berusaha dalam skala luas kepada segelintir pemilik modal. Pada periode 2023 dan 2024, pemerintah
menerbitkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dan Surat Rekomendasi kepada sembilan perusahaan perkebunan tebu, seluas 469.147 hektar yang tersebar di Distrik Tanah Miring, Animha, Jagebob, Eligobel, Sota, Ulilin dan Muting, Kabupaten Merauke.

Sembilan perusahaan tersebut tergabung dalam Global Papua Abadi (GPA) Group dan pemilik
manfaat (beneficial ownership) adalah keluarga Fangiono pemilik First Resources dan Ciliandry Anky Abadi Group, dan Martua Sitorus pemilik Wilmar Group. Rencana investasi GPA Group untuk pengembangan lahan perkebunan tebu dan infrastruktur seluas 500.000 hektar dan pembangunan 5 (lima) pabrik pengolahan gula dan bioetanol, seluruh nilainya sekitar Rp. 83 triliun.

Menurut kajian cepat Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, penggunaan kawasan hutan dan lingkungan hidup dari perizinan dan pengembangan industri perkebunan tebu, pabrik gula dan bioetanol, ditemukan sebagian besar izin yang diberikan berada pada Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi sebesar 45 persen, Hutan Produksi Terbatas 30 persen, dan sisanya Areal Penggunaan Lain 25 persen.

“Areal perizinan perkebunan tebu GPA Group berlokasi pada kawasan hutan dan berada pada daerah moratorium izin atau Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) lebih dari 30 persen atau sekitar 145.644 hektar, karenanya proyek ini mempunyai resiko lingkungan hidup utamanya meningkatkan emisi gas rumah kaca, yang secara kumulatif meningkatkan krisis ekologi. Selain itu, izin perusahaan tersebut sebagian besar berada di wilayah adat masyarakat hukum adat Yeinan seluas 316.711 hektar dan beresiko secara sosial ekonomi dan budaya,” kata Franky Samperante, Selasa (30/7).

Baca juga : PSN Pangan dan Energi Merauke Berpotensi Melanggar HAM dan Krisis Ekologi

Untuk itu, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan LBH Pos Merauke, pertama meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk konsisten menjalankan amanat konstitusi untuk mensejahterakan rakyat dan sungguh-sungguh menerapkan komitmen perbaikan tata kelola sumber daya alam yang berkeadilan dan transparan, tidak merusak lingkungan hidup dan menyebabkan perubahan iklim dengan menghentikan Proyek Strategis Nasional Pengembangan Pangan dan Energi di Merauke.

Kedua, meminta kepada korporasi, investor dan institusi keuangan untuk menghormati hak masyarakat adat untuk membuat keputusan bebas dan tanpa memaksa masyarakat menerima proposal dan usaha perusahaan memanfaatkan dan mengembangkan lahan di
wilayah adat dan hutan adat.

Ketiga, meminta pemerintah daerah untuk mengambil langkah efektif dan langkah hukum dalam menghormati dan melindungi keberadaan dan hak masyarakat adat, hak hidup, hak bebas berpendapat, hak atas tanah, hak atas pangan, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak mendapatkan informasi publik dan termasuk perizinan, serta melibatkan masyarakat adat secara bermakna dalam berbagai rencana program pembangunan. (*)

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan