oleh

UGM Minta Presiden dan DPR Segera Cabut UUCK

Celebesta.com – JAKARTA, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada selenggarakan Webinar Nasional membahas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Perkara No. 91/PUU-XVIII/2020 terhadap UU Cipta Kerja berlangsung pada 15-16 Desember 2021. Hari pertama seminar tersebut membahas perbaikan mendasar dan menyeluruh aspek formil pembentukan UUCK.

Kegiatan ini menjadi sarana untuk memperkaya materi yang akan dimasukkan ke dalam Policy Paper yang sedang dipersiapkan oleh Fakultas Hukum UGM untuk memberikan masukan kepada Pemerintah dan DPR.

Sesi ini dipandu oleh Dr. Richo A Wibowo dengan menghadirkan pembicara antara lain, Dr. Mahaarum Kusuma Pertiwi, SH, MA, M.Phil, Ph.D. Yance Arizona, SH, MH, MA. Dr. Herlambang Perdana Wiratraman, SH, MA. I Gusti Agung Made Wardana, SH, LLM, Ph.D.

Presiden dan DPR segera mencabut UUCK sebagai langkah awal untuk melakukan perbaikan sebagaimana dikehendaki oleh Putusan MK. Pencabutan UUCK dilakukan sekaligus memberlakukan kembali UU yang sudah diubah dan dicabut oleh UUCK untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum.

“Pemerintah untuk menghentikan penerapan UUCK, termasuk pelaksanaan peraturan pemerintah dan peraturan lainnya yang sudah dibuat. Hal ini mengingat bahwa UUCK sudah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sampai dilakukan perbaikan, sehingga sangat berpotensi menimbulkan ketidakpastian, ketidakadilan, dan mudharat dalam pelaksanaannya,” jelasnya melalui Press Release, Rabu (15/12/2021).

Lanjutnya, DPR bersama dengan Presiden perlu segera melakukan perubahan terhadap UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Substansi perubahan UU PPP paling tidak memperhatikan dengan serius dua hal.

Pertama, memasukkan pengaturan mengenai metode omnibus law secara kluster. Sehingga materi yang dilakukan perubahan ialah materi dari berbagai UU dengan satu kluster tematik. Tidak seperti UUCK yang multi-kluster.

Kedua, memasukkan asas partisipasi publik sebagai semangat utama dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Norma-norma mengenai partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) harus disusun agar aspirasi masyarakat didengar dan dipertimbangkan sebaik-baiknya dalam setiap tahapan pembentukan UU mulai dari pengajuan, pembahasan sampai dengan persetujuan.

“Perubahan UU PPP diharapkan bisa memperbaiki proses pembentukan UU dikemudian hari, agar tidak terulang proses legislasi yang cacat prosedur dan tidak partisipatif seperti UUCK,” ungkapnya.

Bila Presiden dan DPR kemudian hari hendak membuat undang-undang guna mendukung penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, maka paradigmanya harus diubah dengan mendasarkan pada semangat ekonomi kerakyatan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang ditegaskan dalam UUD 1945.

“Tidak menghamba pada kepentingan investasi dengan mengorbankan keselamatan rakyat dan kelestarian lingkungan hidup,” tutupnya. (mk/und)

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan