oleh

WALHI: Papua Seolah Tanah Tak Bertuan

Celebesta.com – JAKARTA, Papua yang kaya, lagi dan lagi dijadikan objek pembangunan. Kapitalisme dengan beragam wajah hadir dan diproteksi melalui berbagai produk hukum dan kebijakan. Perjuangan panjang dan suara lantang Orang Asli Papua (OAP) untuk merebut daulat atas tanah, air, udara dan hak dasar lainnya kembali menemui tantangan yang bernama kebijakan pembangunan food estate. Papua seolah tanah tak bertuan.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut Masyarakat Adat, OAP hingga Pemerintah Otonomi Khusus sama sekali tidak dilibatkan dalam perencanaan kebijakan program food estate. Arahan lokasi food estate di Papua seluas ± 2.684.680,68 hektar.

Lebih dari dua juta hektar lahan itu berada di kawasan hutan. Tidak dapat dielakkan, kebijakan tersebut akan berpotensi mendorong laju konversi dan deforestasi di Papua. Lebih jauh, memberi ancaman lingkungan hidup dan relasi masyarakat dengan alam.

Sesungguhnya, program food estate di Papua bukan suatu hal baru. Pada era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, program serupa telah eksis. Saat itu program tersebut bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Belajar dari pengalaman MIFFE, program ini malah melahirkan banyak persoalan dibanding manfaat bagi Masyarakat Adat dan OAP.

Sagu sebagai makanan pokok mayoritas masyarakat Papua malah dikesampingkan. Pemerintah malah mengembangkan komoditi yang sama sekali tidak mencerminkan keberpihakan pada masyarakat Papua. Hal ini kian diperparah, di mana MIFFE malah meminggirkan kekhususan Papua, dimulai dari desain kebijakan yang sentralistik, hingga abai pada hak atas tanah dan sumber daya alam Masyarakat Adat dan OAP.

Program tersebut malah memberi akselerasi penguasaan ruang pada korporasi. Paling tidak terdapat 36 perusahaan yang terlibat menggarap food estate dalam program MIFEE. Tujuh perusahaan diantaranya telah memulai kegiatan usaha pertanian skala luas, yakni Wilmar International, Medco Group, Rajawali Group, Murdaya Poo Group, PT. Bangun Tjipta Sarana, Sinar Mas Group dan Artha Graha Group.

Aiesh Rumbekwan, Direktur Eksekutif WALHI Papua menyebut kegagalan proyek food estate pada rezim sebelumnya tidak membuat pemerintah jera mengulang kebijakan dan program serupa.

“Belajar dari pengalaman MIFFE, pembangunan food estate yang rakus lahan menjadi salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak dasar Masyarakat Adat dan OAP. Mengulang program ini dengan kebijakan baru sama artinya, mendesain sebuah skema pelanggaran HAM baru terhadap Masyarakat Adat dan OAP,” sebut Aiesh melalui keterangan pers WALHI, Senin (28/6/2021).

“Program ini akan semakin menjauhkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak atas tanah dan hak untuk hidup. Bahkan potensi konversi dan deforestasi akan menjauhkan relasi sakral kami dengan alam. Bagi kami orang Papua, hutan seperti mama, ia menyediakan berbagai kecukupan, bahkan beragam ritual bergantung pada kelestarian alam,” tambah Aiesh.

Menurut WALHI, argumentasi pemerintah mendorong program food estate dengan alasan ketahanan pangan seharusnya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan rakyat dan lingkungan hidup. Apalagi bertentangan dengan kekhususan Papua yang ditegaskan dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 dan beragam Perdasus Papua.

“Berdasarkan kajian perundang-undangan kekhususan Papua dan perumusan kebijakan program food estate yang tidak partisipatif merupakan sebuah pelanggaran terhadap otonomi khusus di Papua. Pemerintahan Joko Widodo seolah memilih jatuh pada lubang yang sama. Jatuh pada kesalahan penghormatan otonomi khusus, jatuh pada kekeliruan yang terjadi periode food estate pada program MIFFE,” ujar Even Sembiring, Manajer Kajian Kebijakan WALHI Nasional.

Bagi WALHI Nasional maupun WALHI Papua, penolakan terhadap program food estate merupakan suatu konsekuensi logis. Terlebih hal tersebut bukan merupakan solusi untuk menjawab persoalan pokok yang dihadapi Papua. Satu-satunya cara bagi Pemerintah untuk memperlihatkan keberpihakannya terhadap Papua adalah menaruh fokus pada pekerjaan pemenuhan daulat OAP atas tanah, hutan dan hak lainnya.

“Kebutuhan terhadap produk hukum yang menegaskan pengakuan, penghormatan, perlindungan, pemberdayaan dan pengembangan hak-hak Orang Asli dan Masyarakat Adat Papua merupakan kebutuhan mendesak. Pemerintah bersama Pemerintah Otonomi Khusus harus segera merealisasikan kebutuhan tersebut,” ungkapnya. (mk)

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan