oleh

Manusia Berkarakter Pancasila

Oleh : Citra Racindy*

Aku tidak mengatakan bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang aku kerjakan hanyalah menggali jauh kedalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku menemukam lima butir mutiara yang Indah. – Ir. Soekarno.

Pohon Kluwih atau Artocarpus altilis itu tumbuh merimbun bukan di sembarang kebun. Tapi dipekarangan monumen Pancasila, di sebuah perlimaan kota kecil Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada sejumlah hari antara tahun 1934-1938 Soekarno sering ada disitu. Beliau diasingkan ke Flores oleh Belanda yang menjajah. Pohon Kluwih yang teduh serta semilir angin laut Timor telah memikatnya. Suasana ini bukan saja ideal untuk mengusir rasa penat, melainkan juga untuk merenungkan Indonesia.

Sebelumnya, tulisan ini ditulis di hari lahirnya Pancasila, namun tidak menjelaskan sejarah hari lahirnya Pancasila secara luas. Lebih dari itu, tulisan ini akan mengulik terkait manusia yang berkarakter Pancasila serta Pancasila untuk keteladan manusia.

Pancasila selama ini dikenal sebagai ideologi bangsa. Sebuah ideologi yang semua pelajar diminta untuk menghafalkannya sejak kecil. Pancasila yang terdiri dari lima sila itu sangat menarik untuk dikaji. Dalam kajian Pancasila, angka lima menjadi angka penting. Sebuah angka yang dapat dihubungkan dengan berbagai hal yang juga berjumlah lima. Salah satunya dalam dunia perwayangan yang mengenal lima bersaudara ksatria utama. Yaitu Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa.

Menghubungkan angka lima pada Pancasila dengan berbagai lima lainnya memang akan memperkaya khazanah. Namun ada yang lebih penting, yaitu dalam konteks pembangunan karakter yang disampaikan oleh Zaim Uchrowi dalam bukunya yang berjudul Karakter Pancasila: Membangun Pribadi dan Bangsa Bermartabat. Memahami Pancasila dengan spiral karakter diantaranya:

Sila pertama, sebagai keyakinan (belief)

“Ketuhanan yang Maha Esa”. Tuhan menjadi pusat puncak keyakinan. Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. Maka dari itu, kita sebagai manusia tidak ada hak kepemilikan akan alam semesta dan seisinya. Kita hanya diberikan amanah untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Dan dengan keyakinan kita harus melakukan segala sesuatunya sesuai dengan perintah dan laranganNya. Manusia yang berkeyakinan adalah manusia yang bertakwa. Manusia yang berkarakter Pancasila adalah manusia yang bertakwa.

Sila kedua, sebagai kesadaran (awareness)

“Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Menghargai sesama umat manusia menjadi kesadaran utama dalam hidup. Kesadaran seperti ini merupakan buah dari keyakinan. Yakni yakin bahwa semua manusia adalah sama-sama hamba Allah yang sederajat. Benar bahwa Indonesia adalah bangsa yang beragam baik suku, agama, keyakinan maupun status sosialnya. Namun perbedaan itu tidak boleh menghalangi terjalinnya kasih sayang antar semua anak bangsa. Manusia yang berkesadaran adalah manusia yang berkasih sayang. Manusia yang berkarakter Pancasila adalah manusia yang berkasih sayang.

Sila ketiga, sebagai sikap (attitude)

“Persatuan Indonesia”. Bersatu menjadi sikap penting dalam bermasyarakat. Perbedaan yang ada dalam sebuah negara tak menutup kemungkinan akan memunculkan pertikaian, perselisihan atau perpecahan. Namun hal itu bisa diminimalisir dengan menanamkan sikap bersatu yang kuat dan melatih untuk mengendalikan ego demi terjaminnya ketentraman dan kebahagiaan. Menyadari bahwa seluruh masyarakat Indonesia adalah keluarga yang sama-sama hidup dalam satu negara yakni Indonesia. Manusia yang memiliki sikap bersatu akan menikmati hidup dalam kebhinekaan. Dan manusia yang berkarakter Pancasila adalah manusia yang bersatu.

Sila keempat, sebagai tindakan (Action)

“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Bergotong royong merupakan tindakan utama dalam bekerja atau beraktivitas. Manusia yang bersatu tidak akan bekerja sendiri-sendiri. Mereka akan bekerja sebagai tim yang solid, dengan bergotong royong secara serempak. Bermusyawarah dan bergotong royong disebut sebagai watak khusus bangsa Indonesia. Manusia yang berkarakter Pancasila adalah manusia yang bergotong royong.

Sila kelima, sebagai hasil (result)

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pemerataan kesejahteraan merupakan hasil utama yang diharapkan dalam kehidupan. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, keadilan sosial itu merupakan buah atau hasil kerja bersama seluruh elemen bangsa.

Dalam pemaparan tersebut, jelas bahwa bertakwa menguatkan berkasih sayang, berkasih sayang menguatkan bersatu, bersatu menguatkan bergotong royong, bergotong royong menguatkan berkesejahteraan, dan berkesejahteraan kembali menguatkan bertakwa. Pancasila telah ada sejak zaman kerajaan Majapahit sebagaimana telah ada dalam kitab atau buku yang pernah ditulis oleh Empu Tantular dalam Sutasomo dan Empu Prapanca dalam Negarakertagama.

Tergerusnya keberadaan Pancasila dalam tatanan penghayatan dan pengamalannya dewasa ini, disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang Pancasila yang sesungguhnya. Maka dari itu mari kita mulai memahami kembali makna dari Pancasila yang sesungguhnya.

Di hari lahirnya Pancasila ini, semoga tidak hanya sebatas merayakan hari lahirnya saja, melainkan memaknai dan menghayati makna Pancasila dan menjadikan Pancasila keteladanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai keteladanan merupakam nilai operasional bukan sekadar kata-kata mutiara. Artinya, selain bersifat inspiratif juga aplikatif.

Pancasila merupakan konstruksi gagasan yang dirancang penuh keseriusan oleh Bung Karno, bahan bakunya adalah nilai-nilai yang nyatu dalam hidup dan bekerja dalam masyarakat. Bung Karno sendiri melakukan kristalisasi nilai-nilai tersebut secara paripurna. Sayangnya penghormatan kita kepada Pancasila justru menempatkannya sebatas teks sakral yang kosong. Karena Pancasila direduksi melalui metode hafalan sehingga impresinya hilang. Selamat hari lagir Pancasila 1 Juni 2021.

*Penulis adalah Guru Bidang Studi PPKN di SMA Yadika 5 Joglo, Jakarta Barat.

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan