oleh

Pentingnya Pemenuhan Kebutuhan atas Dasar Kesamaan Hak bagi Penyandang Disabilitas

Oleh : Adi Chandra Wira Atmaja

(Mahasiswa Fakultas Sastra, Unisa dan Kader LMND Kota Palu)

Ada perbedaan mendasar antara perlakuan atas dasar mengasihani atau charity based dan perlakuan atas dasar persamaan hak atau right based.  Paradigma tersebut akan berimplikasi pada laku yang tipis bedanya, namun memiliki dampak yang berbeda.

Mengasihani seseorang berarti menyadari dan menempati seseorang pada taraf yang lebih rendah, dimana situasi ini kontras dengan adanya persamaan hak yang sejatinya melekat dalam diri setiap orang.

Jika paradigma yang digunakan adalah kesamaan hak, maka keterbatasan yang dimiliki seseorang tidak dijadikan sebagai nilai yang merendahkan martabatnya dan semestinya dipenuhi dengan sarana yang mampu menutupi keterbatasan seseorang dalam menjalani kehidupan sosial. Bukan hanya memberi untuk menuntaskan rasa kasihan yang berangkat dari ketakutan akan mengalami hal serupa semata.

Mengasihani lahir sebagai konsekuensi dari adanya diskriminasi di tengah masyarakat. Diskriminasi sebagai realitas sosial berkembang dalam masyarakat yang tidak memiliki kesadaran akan persamaan hak. Maka, kesadaran akan adanya persamaan hak lah yang perlu dibangun lebih dulu untuk menangkal diskriminasi.

Dalam konteks perlakuan terhadap penyandang disabilitas (seterusnya disingkat PD), secara hukum Indonesia telah menggunakan paradigma right based.

Dapat dilihat dalam UU No. 8 Tahun 2011 tentang Penyandang Disabilitas yang mengantikan UU No. 4 Tahun 1997 yang dianggap masih menggunakan paradigma charity based. Ini sejalan dengan International Conventions on the Rights of Disabilities yang ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 13 Desember 2006 dan terbuka untuk proses ratifikasi dari tanggal 30 Maret 2007. Perjanjian ini sendiri mulai berlaku pada tanggal 3 Mei 2008.

Walaupun agak terlambat, UU No 8 Tahun 2011 menjadi tonggak baru dalam pemenuhan kebutuhan PD. Jika dibandingkan dengan implementasi yang berangkat dari UU No. 4 Tahun 1997, dampak dari UU No. 8 Tahun 2011 jauh lebih progresif dibandingkankan undang-undang sebelumnya. Yang paling terlihat adalah menyediakan sarana bagi PD untuk menggunakan hak pilih. Kita patut mengapresiasi capaian tersebut. Namun kita harus menyadari pula bahwa pemenuhan hak tidak berhenti pada hak pilih.

Sebagai mahluk sosial, ruang publik adalah konsekuensi dari adanya interaksi antar sesama. Ruang publik merupakan hak bagi seluruh warga negara, dan ketika berbicara warga negara, PD pun termasuk di dalamnya.

Dibutuhkan fasilitas mampu diakses dan dimanfaatkan oleh PD sesuai dengan keterbatasan yang dimiliki. Juga dibutuhkan sosialisasi yang masif untuk menggeser cara pandang yang dapat merendahkan martabat PD, agar ruang publik yang ramah bagi PD dapat tercipta.

Ya, ruang publik adalah salah satu wujud dari pemenuhan kebutuhan atas dasar kesamaan hak. Karena pada dasarnya kita menganggap mereka memiliki hak yang sama sebagai manusia, maka seharusnya mereka mampu memanfaatkan ruang publik sebagaimana kita mampu memanfaatkan ruang publik pula.

Perlu diingat bahwa tulisan ini tidak mengesampingkan upaya pemenuhan berbasis belas kasih, mengingat belas kasih bisa saja membantu keseharian seseorang yang memiliki keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan hidup, walau hanya sehari.

Namun, sangat penting bagi pihak berwenang untuk memastikan bahwa setiap warga negara termasuk PD dapat menikmati hak yang sama dan tidak, atau paling tidak, sekecil mungkin menerima diskriminasi di ruang publik.

Maka tidak cukup menyandarkan upaya tersebut pada belas kasih. Fasilitasi dan sosialisasi berkelanjutan juga dibutuhkan demi membangun kesadaran akan adanya kesamaan hak untuk menghentikan diskriminasi terhadap kelompok rentan.

* Opini ini merupakan sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan