Oleh : Adi Chandra Wira Atmaja
(Kader LMND Kota Palu)
Palu – Kalau ditanya kenapa masih bertahan hidup ditengah segala macam perkara yang menerjang, pasti jawabannya tidak jauh dari perkara idealisme, entah itu keyakinan pribadi, harapan, tujuan, cita-cita, dan lain-lain. Kita rangkum saja semuanya sebagai “keyakinan” supaya lebih mudah.
Sejak nenek moyang kita masih berdiri, “keyakinan” menjadi hal penting yang melandasi segala kehendak. Tidak perlu jauh-jauh ke keyakinan akan Tuhan atau dewa-dewi, keyakinan akan adanya daratan yang lebih layak untuk dihuni telah menuntun mereka untuk menjelajahi dunia tanpa bantuan maps atau pesawat terbang. Keyakinan terus berkembang, bercabang-cabang, bereproduksi, bahkan pada era secanggih ini, keyakinan masih menjadi hal yang vital. Tentu tidak butuh banyak pembuktian untuk ini.
Kembali ke masa kini, kita telah hidup dengan berbagai macam kemudahan. Bukan hanya pesawat terbang untuk transportasi, arus informasi terus kita terima dalam genggaman, tidak terbendung.
Segala kecanggihan dan kemudahan ini melahirkan situasi yang dikenal dengan sebutan, post-truth.
Kamus oxford mendefinisikan post-truth sebagai situasi dimana keyakinan pribadi atau emosi lebih mempengaruhi seseorang dibandingkan fakta. Sialnya, sebagian besar dari kita, termasuk saya, adalah manusia-manusia yang memiliki keyakinan pribadi dan emosi yang mudah dipantik kapan saja. Kembali ke paragraf sebelumnya, ini barang vital!
Bayangkan kau yang ngekos bangun pagi, cuma sarapan air putih dan sebatang rokok karena akhir bulan harus menghemat, malah ngamuk online karena artis idolamu kena bully di Instagram dan berjam-jam kau harus menghabiskan waktu untuk menangkal argumen haters yang menyerang idolamu. Walau kau tidak pernah menerima sepeserpun sumbangan.
Oh, terlalu mengawang-awang?
Coba kita kutip salah satu poin dari data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tentang Konflik Agraria di masa pandemi.
Pada 18 Maret 2020, PTPN XIV mengeluarkan surat edaran meminta petani di Kampung Likudengan, Desa Uraso, Kecamatan Mappadeceng, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan meninggalkan tanah pertanian dan kampung mereka. Pihak PTPN mengklaim tanah tersebut masuk ke dalam HGU mereka.
Sebagai catatan, lokasi ini sudah diusulkan kepada pemerintah melalui Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) untuk segera diselesaikan dan diredistribusi kepada petani. Tanah yang diklaim pihak PTPN tersebut dulunya merupakan tanah warga desa yang diambil secara paksa. Setelah itu, mereka menelantarkan hingga kembali diduduki dan ditanami warga sampai sekarang (Budiarti Utami Putri, Tempo, 2020).
Pertama, mereka adalah warga biasa. Kedua, ada ketidakadilan atau sebut saja ketidakjelasan dalam prosedur pelaksanaan hingga masyarakat setempat merasa diperlakukan secara tidak adil.
Bandingkan informasi tersebut dengan informasi tentang penurunan baliho HRS yang sedang mencuat akhir-akhir ini. Lebih besar mana responnya?
Ini bukan didasari sentimen, tapi memang ini yang sedang mencuat dan responnya bukan main ramai. Maaf saja, fakta bahwa ada konflik yang merugikan rakyat di akar rumput tidak mampu mengalahkan emosi ketika tokoh idolanya dilecehkan, walau hanya baliho.
Keyakinan yang bergandengan erat dengan emosi kita kini bukan hanya barang vital, tapi barang rentan yang bisa saja menjauhkan kita dari permasalahan di akar rumput. Sekali lagi, tidak berniat melecehkan tokoh manapun. Penegasannya adalah “hati-hati dengan jebakan post-truth di genggaman kita”.
*Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Komentar