Oleh: Cristian Fernandes Suranawa
PALU – Beberapa hari yang lalu saya dan kawan-kawan Aliansi Masyrakat Adat Nusantara (AMAN) Kamalisi Coba mengorganisir masyrakat adat Kalora dan Balumpewa terkait penolakan tambang Galian C dan Perusakan makam leluhur oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah yang dijadikan jalan menuju tempat wisata alam wera di Kabupaten Sigi.
Tepat pada tanggal 10 Ferbuari 2025 yang tergabung dalam Front Kamalisi Menggugat melakukan aksi demonstrasi di Kantor Bupati Sigi, BKSDA Sulteng. Kemudian masa aksi bergerak ke kantor Gubernur Sulteng meminta keadilan serta memberikan dokumen penolakan dan penghentian tambang galian C.
Kurang lebih 100 massa aksi yang hadir pada saat itu, Kemal salah satu tokoh pemuda adat Kalora juga ikut berorasi. Dia menagatakan bahwa sebelum negara hadir masyarakat adat sudah lebih dulu mendiami dan bercocok tanam di negeri ini.
Begitupun masyarakat adat Balumpewa turut melakukan protes atas tindakan BKSDA Sulteng yang mengklaim wilayah adat menjadi hutan konservasi dan merusak kurang lebih 30 makam leluhur.
Makam dirusak adalah bentuk ketidakadilan negara terhadap Masyarat Adat Balumpewa karena tidak mengormati leluhur mereka. Pasca somasi yang dilakukan oleh Front kamalisi menggugat BKSDA Sulteng, masyarakat adat Balumpewa dan AMAN Kamalisi melakukan musyawarah adat di Kantor Desa balumpewa, Jumat (14/02/2025).
Walaupun BKSDA Sulteng mengakui kesalahan dan meminta maaf tetapi tidak mendapat titik temu karena menolak dijatuhi sanksi adat (givu) dan kini hal itu menjadi luka di komunitas adat.
Awalnya musyawarah berjalan dengan baik dan lancar membahas klaim hutan konservasi, pengelolaan pariwisata tetapi berujung sedih, kesal, gumam semuanya dirasakan. Dalam pengelolaan sumberdaya alam harusnya Masyarakat Adat Balumpewa berhak mengelola alam mereka sendiri tanpa ikut campur tangan dari negara.
Sejauh ini Masyarakat Adat Balumpewa melalui kuasa hukumnya akan melaporkan tindakan itu ke Polda Sulteng dan akan menyurat ke Kementerian Kehutanan dan Kementerian Kebudayaan di Jakarta.
Balumpewa begitu kaya akan sumber daya alamnya dan juga terdapat air terjun yang begitu indah dan mempesona dan kemudian pohon yang menjulang tinggi tumbuh di lereng-lereng gunung sesungguhnya itu bukan sepenuhnya milik masyarakat adat Balumpewa.
Mereka menumpang di tanah sendiri karena Negara menetapkan kawasan tersebut sebagai hutan konservasi. Bahwa selama ini BKSDA Sulteng tidak pernah pamit dalam melakukan aktivitas termasuk juga pembangunan jalan (Paving blok) tahun 2018 silam.
Saat ini banyak kendala pembangunan fasilitas umum maupun sarana dan prasarana di Desa Balumpewa karena sebagian besar wilayah adat masuk dalam hutan konservasi padahal menurut sejarah lisan Masyarakat Adat Balumpewa bahwa sejak zaman belanda bahkan jauh sebelumnya leluhur mereka sudah menempati kawasan itu termasuk Dusun Ngata Papu yang ada saat ini.
Penulis melihat situasi di atas justru membangkitkan semangat juang, bara perlawanan muncul. Kita juga harus menyadari bahwa gerakan masyarakat adat tidak terjadi secara kebetulan tetapi karena situasi sosial yang membentuknya.
Penulis merupan Deklarator BPAN Kamalisi
Komentar