Celebesta.com – PALU, Komunitas Celebes Bergerak, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kamalisi bersama The Samdhana Institute menggelar Media Briefing.Kegiatan ini bertujuan untuk mengampanyekan tentang pentingya menjaga hutan dan wilayah adat dari ekstraktivisme serta dampak kesehatan yang membahayakan bagi masyarakat adat dan kelompok rentan.
Komunitas Celebes Bergerak dan AMAN Kamalisi berkomitmen untuk mengajak dan menghimpun orang muda yang tergabung dalam Media online dan Lembaga Pers Mahasiswa yang diidentifikasi telah memiliki website/blog untuk mendukung pemberitaan tentang lingkungan hidup dan masyarakat adat di Kota Palu, Sigi dan Donggala
Dengan mengadakan Media Briefing, Komunitas Celebes Bergerak dan AMAN Kamalisi berusaha untuk menyebarluaskan isu-isu kemanusiaan terutama keberpihakan kepada masyarakat adat yang berada di wilayah lingkar tambang maupun kawasan hutan lindung dan konservasi.
Risdayanti, Aktivis, Komunitas Celebes Bergerak mengatakan bahwa sejauh ini mereka fokus pada kelompok rentan, masyarakat adat dan warga lingkar tambang.
“Misalnya kondisi warga lingkar tamabang saat ini di buluri, ada mata air uwentumbu tercemar yang kita ketahui sebagai sumber penghidupan masyarakat setempat” Ungkap Yanti didepan sejumlah awak media dan Lembaga Pers Mahasiswa.Minggu (12/01/2025) di Café GIS, Jalan Bali,Kota Palu
Menurutnya yang paling rentan dalam situasi ini adalah perempuan, anak, disabilitas baik dari aspek kesehatan maupun dalam pengambilan keputusan di tingkat tapak.
“ Dalam rapat atau memberikan pendapat kami dapatkan bahwa perempuan tidak memiliki banyak kesempatan menyampaikan pendapatnya,” sambung Yanti.
Lebih lanjut Yanti mengatakan bahwa dengan adanya media briefing ini diharapkan mampu mengampanyekan berbagai issue dengan menggunakan berbagai platform media dalam menjaga wilayah adat, merawat kehidupan masyarakat adat.
Selanjutnya Oskar Tikabaja, Divisi Hukum dan Advokasi AMAN Kamalisi mengatakan bahwa saat ini pihaknya sedang mengadvokasi masyarakat adat kalora terkait penolakan tambang.
“ Disana “Desa Kalora) warganya 15 mendapat surat panggilan dari Polda Sulteng karena menolak tambang,” ungkap Oskar.
Persoalan yang dihadapi masyarakat adat di pegunungan kamalisi memang rumit dan tidak terlepas dari masifnya pembangunan Ibukota Nusantara (IKN) dan berdampak bagi Sulawesi Tengah sebagai penyangga material 30 juta ton untuk disuplai di ibukota baru itu.
Penyempitan ruang makin nyata pelepasan kawasan hutan lindung menjadi area penggunaan lain (APL) menjadi modus memperluas konsesi tambang di wilayah adat.
“ Seperti yang terjadi di Salena, 58 hektar masuk dalam program sertipikat gratis tetapi hanya untuk meloloskan izin perusahaan tambang,” terang Oskar.
Sementarai itu, kata Demus Paridjono, Ketua AMAN Kamalisi bahwa Saat ini di Lingkungan salena, Kelurahan Buluri, Kota Palu lebih dari 700 hektar hutan lindung tetapi pemerintah masif menerbitkan izin tambang. Hutan lindung seperti disiapkan untuk penambangan. Kemudian Desa Kalora, Kecamatan Kinovaro, Sigi diperkirakan sekitar 1000 hektar hutan lindung tetapi didorong juga untuk pertambangan,
Pemerintah tidak konsisten dengan kebijakannya dan justru merugikan masyarakat adat. Selanjutnya di Balumpewa, Kecamatan Dolo Barat, Sigi sebagian besar wilayah kelola masuk dalam hutan Konservasi sekitar 2000 Hektar dan keterbatasan akses hingga pemindahan paksa akan menjadi mimpi buruk dikemudian hari.
“ Pemakaman umum di Desa Balumpewa dijadikan jalan menuju tempat wisata hal ini sangat meresahkan masyarakat adat” singkat Demus
Demus juga perpandangan bahwa situasi masyarakat adat saat ini sangat terdesak terhadap kebebasan ruang dan kedepan pihaknya akan melakukan upaya strategis termasuk juga akan langkahlangkah hukum jika diperlukan.
“ Tidak menutup kemungkinan aka nada upaya hukum yang kami lakukan,” Pungkas Demus.(AS)
Komentar