oleh

AMAN Kamalisi dan Samdhana Institute Rumuskan Model Advokasi Kebijakan Inklusif

Celebesta.com – SIGI, Klaim hutan lindung oleh pemerintah melalui pengawasan KPH Banawa-Lalundu membuat ruang masyarakat adat di sekitar pegunungan Kamalisi terkekang oleh kebijakan itu.

Ditambah lagi pembangunan Ibukota Nusantara (IKN) membuat sebagian wilayah adat di Kamalisi masuk dalam ancaman ekspansi indsutri ekstraktif untuk memenuhi target material batu dan kerikil sebanyak 30 juta ton untuk mega proyek pembangunan Ibu Kota baru tersebut.

Disatu sisi pelepasan kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) kerapkali sebagai modus mendorong investasi masuk ke wilayah adat, salah satunya adalah Pertambangan Galian C.

Merespon hal ini, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kamalisi bersama Samdhana Institute merumuskan sebuah model advokasi kebijakan yang bisa menyentuh semua tingkatan (inklusif), baik komunitas adat, Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat.

Demus Paridjono, Ketua AMAN Kamalisi mengatakan bahwa model advokasi ini diharapkan mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat adat di Kamalisi.

Pegunungan Kamalisi, saat ini terdapat Komunitas adat Vau, Rompi, Vaturalele, Vatutinggu, Vaelipe, Onguntovaiyo, Sibava, Visolo, Ona, Vavuja’I, Matantimali, Tavalai Banja, Perato, Vovako, Vanantongo, Pinembani, Laniboko, Karovia, Vavongga, Pakava, Vaenumpu Vayanga, Nggolo, Pantapa, Kasoloa dan Karavana,” ucap Demus saat diskusi berlangsung di Rumah AMAN Kamalisi. Jumat (20/12/2024)

Kata demus, Masyarakat Adat di Kamalisi di masa orde baru pernah dipindah paksa di dataran Palolo karena wilayah adatnya masuk dalam kawasan hutan lindung dan dianggap sebagai perambah hutan, hingga kini konflik antara masyarakat adat di Kamalisi dan rezim kehutanan masih tumbuh subur.

“Sekarang konflik dengan kehutanan masih berlangsung walaupun tidak ada lagi pemindahan paksa seperti tahun 1970-an. Tetapi konflik ini tetap ada. Satu contoh di Komunitas Adat Nggolo BPKH Wilayah XVI Palu pernah di denda adat karena pasang Patok tanpa sepengetahuan masyarakat adat setempat,” terang Demus.

Menurut Demus bahwa apapun nama instansinya jika berbunyi soal hutan lindung, hutan konservasi maka masyarakat adat akan mengidentifikasi sebagai kehutanan.

Selanjutnya, Malik dari Unit Policy Support, Samdhana Institute menjelaskan bahwa model advokasi yang kita rumuskan akan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat adat di Kamalisi.

“Advokasi kebijakan soal Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat itu terdapat beberapa skema perlu dorong, bukan hanya hutan adat tetapi juga ada Hak Kekayaan Intelektual Komunal, Kearifan Lokal, Desa Adat, Pendaftaran Hak Ulayat dan masing-masing itu semua ada kementerian yang menanganinya,” ujarnya.

Lebih lanjut, Malik menjelaskan bahwa melakukan advokasi di Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat perlu memahami politik kebijakan sehingga apa yang kita lakukan dapat tercapai dengan baik dan butuh kesabaran.

“Kita juga berharap dalam beberapa waktu kedepan advokasi kebijakan bisa terhubung dengan kerja-kerja AMAN Kamalisi di komunitas adat,” pungkasnya. (AS)

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan