oleh

Menjahit Kembali Gerakan Masyarakat Adat Kamalisi

Celebesta.com-PALU, Sangat menarik, apa yang harus dijahit? Begitu kiranya ketika kita membaca judul yang mungkin sebagian orang menganggap hal itu sebagai gimik.

Tetapi memang begitu analoginya karena menjahit yang dimaksud adalah mengumpulkan kekuatan yang pernah ada, kekuatan hari ini dan digabung menjadi kekuatan baru layaknya kita menjahit pakaian yang robek karena usia, sehingga kainnya menjadi lusuh atau karena kita yang menggunakan seringkali ugal-ugalan.

Kita tetap butuh kain lusuh dan kita akan masukkan benang baru di bagian yang akan dijahit melalui jarum yang kuat dan tajam. Demikian intermezzo dan sedikit tetek bengek mengawali paragraf ini.

Sepertinya pembaca juga perlu diberi pengantar soal Kamalisi, iya benar !! Kamalisi adalah Penyebutan Lokal orang-orang yang bermukim sisi barat kota palu tentang nama gunung yang oleh masyarakat lembah palu menyebutnya Gawalise.

Kemudian dalam ingatakan kolektif masyarakat adat di sekitar kaki gunung ini bahwa gawalise diklaim sebagai penyebutan oleh orang diluar entitas itu termasuk juga adanya pengaruh Kononial belanda.

Bahkan dalam beberapa penelusuran adapula yang menyebut Kayumalisi, Kavarolisi dan mungkin saja masih ada nama lain.

Penyebutan berbeda bukan hanya di Kamalisi saja tetapi Gunung Everest yang kita kenal saat ini bagi orang Nepal, mereka menyebutnya Sagarmatha dan orang tebet, maaf ya! Maksudnya Tibet, kalau tebet itu di Jakarta selatan disitu juga ada Rumah AMAN bukan gunung.

Kita kembali ke leptop, orang Tibet bilang kalau gunung tertinggi itu adalah Chomolangma atau Qomolangma. Jadi perbedaan itu hal biasa, bukan hanya gunung tetapi pohon, buah dan lainnya dengan berbeda sebutan tentu sangat mudah kita dapatkan.

Tulisan ini sengaja di buat dengan genre yang agak santai, agar tidak tegang dan membuat tensi memuncak, karena bicara masyarakat adat yang karib ditelinga dan di depan mata adalah perampasan lahan, kriminalisasi, diskriminatif, hal itu cukup memicu adrenalin.

Baik kita masuk dibagian selanjutnya tentang gerakan masyarakat adat kamalisi, Jika mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Ridha Saleh yang sejak awal melakukan pengorganisiran memang gerakan itu diawali pasca reformasi.

“Tahun 2000, Kongres Pertama Aliansi Masyarakat Adat Kamalisi (AMAK) itu di dilaksanan di Dombu. Itu awalnya ya, hari ini banyak yang berbeda dan itu tantangannya,” ucap Edang sapaannya.

Bagi orang kamalisi yang pernah dijumpai oleh Edang ia dikenal dengan nama Pa Eda. Hal ini dipengaruhi oleh pelafalan orang kaili yang ditemuinya sulit menyebut huruf konsonan jika berada dalam akhiran nama ataupun kata.

Hal ini juga menunjukkan betapa masifnya gerakan masyarakat adat saat itu sehingga edang dikenal dengan baik oleh masyarakat adat kamalisi.

Berbagai diskusi kampung yang dilakukan oleh edang melalui Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Diawal milenium 2000 menjadi cikal-bakal berdirinya AMAK yang saat ini dikenal dengan AMAN Kamalisi banyak membuahkan hasil.

Semisal, jalan menuju salena bolonggima, kelurahan buluri diperbaiki, sekolah di sintulu, desa lumbumamara dibangun oleh pemerintah tidak terlepas dari aksi massa yang pernah dilakukan dikala itu.

“Iya dulu (sudah lama) ada dari YPR datang diskusi dikampung kami dan waktu itu disepakati mengusulkan pembangunan sekolah. Awalnya sekolah sudah ada termasuk pembelajarannya hanya saja masih darurat bangunannya. Difasilitasi oleh YPR kami ketemu dengan pemerintah dan akhirnya sekolah dibangun dan menunjukkan foto sekolah,” ungkap salah seorang warga sintulu.

Nurlin yang juga merupakan anak kandung dari gerakan masyarakat kamalisi mengatakan bahwa setelah dari dombu, kongres AMAK digelar di Salena Bolonggima, Salena Padanjese dan setelah perubahan dari AMAK ke AMAN Kamalisi tidak lagi menggunakan istilah kongres tetapi Musyawarah Daerah (Musda) karena sudah tergabung sebagai anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

“AMAN Kamalisi memang butuh sosok bung demus, dia memang memiliki semangat yang baik dan tentu juga punya keberanian,” kata Nurlin.

Menurut Dia, terpilihnya demus secara aklamasi bukti bahwa Leluhur dan tuhan maha esa menghendaki sosok yang bersangkutan untuk menahkodai organisasi.

Dengan terpilihnya Demus Paridjono sebagai ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kamalisi dalam Musyawarah Daerah Luar Biasa (Musdalub) bertempat di Desa Uwemanje, Kecamatan Kinovaro,Kabupaten Sigi disisa masa jabatan 2024-2027 akan menjadi energi baru dalam organisasi.

“Musdalub dilakukan karena enos, ketua sebelumnya terpilih menjadi anggota DPRD Sigi, saat ini memang banyak tantangan yang kita hadapi. Saya berpikir bahwa kedepan kita harus mendaftarkan lagi beberapa komunitas adat untuk menjadi anggota AMAN termasuk juga akan menyelesaikan sejumlah persoalan yang saat ini ada seperti Kalora, Balumpeva dan beberapa tempat lain,” terang Demus dalam sambutannya usai terpilih dalam musyarawah itu. (Rabu/30/2024).

Selanjutnya kata Awal dari AMAN Sulteng sejauh ini belasan warga kalora dilapor ke pihak penegak hukum terkait penolakan warga terhadap perusahaan tambang galian c.

“Beberapa kali, kami membuat diskusi kampung di Kalora terkait penting pemetaan partipisipatif sebagai upaya menjaga wilayah adat dan membahas soal langkah-langkah advokasi,” singkat awal.

Awal berharap ada sanksi adat kepada perusahaan yang menggunakan nama desa Kalora menjadi nama perusahaan di wilayah itu.

“Harus disanksi adat (Givu) karena tanpa sepengetahuan masyarakat adat setempat menggunakan desa kalora sebagai nama perusahaan”, terang awal

Selain itu kondisi di salena telah terjadi penolakan survey lahan dari balai pemantapan kawasan hutan dan tata lingkungan (BPKHTL) Wilayah XVI Palu.

“Menurut Pengakuan yang survey mereka dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Palu tetapi menurut Lurah Buluri mereka dari BPKHTL Wilayah XVI Palu,” ungkap haerul warga salena.

Sambung Haerul, Sebelumnya ditahun 2021 BPKHTL Wilayah XVI Palu pernah didenda adat (Givu) karena melakukan pemasangan patok hutan lindung tanpa izin masyarakat setempat.

“Dugaan kami, karena pernah digivu jadi gunakan nama instansi lain,” ungkap Haerul.

Dari beberapa persoalan yang dihadapi dibutuhkan strategi dan taktik baru untuk menjahit kembali gerakan masyarakat adat kamalisi sebagaimana pernah terjadi di awal tahun 2000.

Masyarakat adat kamalisi kini rindu dengan kalimat-kalimat perlawanan “Tajampanjili hasele tana ada kami” (Tarik Kembali Hasil Tanah Adat Kami), Ne’e ratovo pangale ada kami yang berarti Jangan ditebang hutan adat kami (AS).

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan