Celebesta.com – Jakarta, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat yang melakukan kajian yang berjudul investasi bodong : mengungkap beban dan manfaat dari investasi sawit di Tanah Papua menemukan hingga tahun 2019, pemerintah telah menerbitkan IUP (Izin Usaha Perkebunan) kepada 55 perusahaan pemegang IUP perkebunan kelapa sawit di Tanah Papua dengan luas 1.571.696 hektar. Luas ini setara dengan 23 kali luas daratan Provinsi DKI Jakarta. Namun lahan IUP perkebunan kelapa sawit yang telah dikembangkan hingga tahun 2019, seluas 169.152 hektar.
Perusahaan ini hadir didahului dengan gencarnya operasi militer ke daerah Arso. Tekanan keras dirasakan dan tidak ada warga yang boleh melarang program pemerintah untuk pengembangan perkebunan sawit.
Pada saat itu, Arso-Waris menjadi wilayah rawan. Masyarakat tidak boleh menuntut ini dan itu. Kalau hutan dan dusun sagu kami pertahankan, berarti mereka dianggap berkomplot dengan TPN OPM dan beresiko terjadi kekerasan. Hal ini disampaikan Wiko Saputra, peneliti, yang memaparkan hasil kajian Yayasan Pusaka Bentala Rakyat berjudul Investasi Bodong: Mengungkap Beban dan Manfaat dari Investasi Sawit di Tanah Papua, dalam Diskusi Publik di Hotel Green Alia Cikini, Jakarta Pusat, (27/8/2024).
Laporan kajian ini mengungkapkan serbuan investasi sawit terjadi menyusul menurunnya ekonomi kayu di Tanah Papua. Banyak pengusaha perusahaan mengalihkan bisnis dan eks konsesi HPH (Hak Pengusahaan Hasil Hutan Kayu) dialihkan untuk bisnis perkebunan kelapa sawit. Di Kabupaten Sorong, perusahaan kayu PT Intimpura Timber, mengalihkan konsesinya pada tahun 2002 untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Henrison Inti Persada (32.456 ha), PT Inti Kebun Sejahtera (3ti.300 ha), PT Inti Kebun Sawit (37.000 ha), PT Inti Kebun Lestari (34.400 ha). Di Kabupaten Keerom, konsesi HPH PT Hanurata menjadi perkebunan kelapa sawit PT Tandan Sawit Papua,
“Ini bukti bahwa investasi sawit oleh perusahaan di Tanah Papua, sebenarnya akal-akalan perusahaan mendapatkan lahan dan menjadikannya sebagai landbank. Perusahaan membabat hutan atas nama izin sawit, kayunya diambil, lantas lahannya ditelantarkan”, ungkap Wiko Saputra, sesuai siaran pers yang diterima media ini, Rabu (28/8/2024).
Laporan ini mengungkap dan menghitung relevansi manfaat dan nilai kerugian lingkungan dari investasi sawit di Tanah Papua dengan menggunakan pendekatan Cost Benefit Analysis (CBA). CBA berperan untuk mengukur dampak utuh dari sebuah investasi dengan mempertimbangkan beberapa aspek, seperti ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Ditemukan Nilai Kerugian Ekonomi Lingkungan dari Investasi Sawit di Tanah Papua (2023) dalam rupiah sebesar Rp. 96.637.246.ti1ti.336. Nilai kerugian ekonomi lingkungan terbesar dari investasi sawit berada di Provinsi Papua Selatan mencapai Rp. 37,70 triliun.
Sedangkan manfaat dari investasi sawit di Tanah Papua, berdasarkan manfaat perekonomian dan penerimaan negara dari pajak PBB Perkebunan, PPN, PPh, Bea Keluar, pungutan ekspor, keseluruhan mencapai sebesar Rp. 17.645.512.935.777. Secara kumulatif menunjukkan dampak investasi sawit di Tanah Papua lebih banyak memberikan dampak buruk terhadap perekonomian daerah, yang mana nilai cost benefit ra4o (CBR) sebesar 5,4ti (lebih besar dari satu), artinya biaya ekonomi yang ditimbulkan lebih besar sebesar Rp. 96,6 triliun jika dibandingkan dari manfaat ekonomi yang dihasilkan dari investasi sawit yakni sebesar Rp. 17,64 triliun.
Operasi perusahaan sawit menghilangkan dan merusak hutan juga menimbulkan dampak serius terhadap kehidupan mata pencaharian masyarakat sekitar, terjadi bencana ekologi, permasalahan kesehatan, kesulitan pangan layak dan gizi buruk. Kajian ini mengutip data Badan Pangan Nasional 2023 terkait Indeks Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota di Tanah Papua, ditemukan 30 ari 42 kabupaten di Tanah Papua mengalami kerawanan pangan dan dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Data ini juga menunjukkan daerah rawan pangan berada di daerah pengembangan perkebunan kelapa sawit, yakni: Kabupaten Merauke, Mimika, Jayapura, Sorong, Keerom, Nabire dan Manokwari.
Laporan ini mencatat dan menegaskan bahwa investasi sawit di Tanah Papua tidak layak dilanjutkan. Kapitalisme sawit telah menjadi predator, tidak hanya bagi pelestarian lingkungan tapi juga keberlangsungan hidup masyarakat adat Papua.
Sulistyanto dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Meca Yanti dari GIZ, dan Danang Widoyoko dari Transparency International Indonesia, yang hadir sebagai penanggap laporan dan menyampaikan perlunya kajian ini menjadi bahan advokasi dan di desiminasi lebih luas kepada berbagai pihak, kementerian dan lembaga negara, jaringan organisasi masyarakat sipil dan masyarakat terdampak.
“Pemerintah perlu memikirkan kembali proses perencanaan pembangunan dan strategi keuangan negara untuk memasukkan elemen sosial dan lingkungan, termasuk resiko kerugian ekologi dalam kebijakan dan proyek pembangunan, serta penegakan hukum jika ada pelanggaran aturan,” kata Meca Yanti. (*)
Komentar