SIGI, CELEBESTA.COM – Hari Buruh international yang jatuh pada 01 Mei (May Day) merupakan momen pengakuan politik seluruh dunia atas perjuangan buruh dari berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan yang dialami oleh para buruh dari masa ke masa dalam berbagai konteks.
Momen ini diperingati oleh kelompok perempuan Mombela (Mombine Belotapura Lambara) Sigi dengan melakukan diskusi kelompok, Senin (01/05/2023).
Hal tersebut mereka lakukan untuk merefleksi perjuangan dalam melakukan advokasi kasus-kasus yang dialami oleh perempuan pekerja migran Indonesia (PPMI) asal Kabupaten Sigi yang bekerja di luar negeri, kerap mengalami berbagai bentuk pelangaran hak-hak dan kekerasan.
“Kami melakukan advokasi kasus perempuan pekerja migran bersama organisasi Solidaritas Perempuan Palu. Selain itu, untuk keberlanjutan kelompok, kami mengembangkan produk olahan pisang menjadi tepung pisang. Tepung pisang ini dapat di olah menjadi berbagai aneka makanan”, kata Zainab salah seorang anggota Kelompok Mombela Sigi.
Menurut Zainab, Kelompok ini terbentuk sejak tahun 2018, dari inisiatif perempuan yang melihat berbagai macam pelanggaran hak dan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan pekerja migran Indonesia dari Desa Lambara, Kabupaten Sigi. Mereka juga saat itu merupakan penyintas gempa bumi 28 september 2018 Silam.
“Kami melakukan penguatan pemahaman dan kapasitas kepada kelompok perempuan Mombela Sigi karena kami banyak menerima laporan kasus kekerasan dan pelanggaran hak yang dialami oleh perempuan di Desa Lambara”, jelas Dia.
Sementara itu, Safriana yang merupakan Staf Perlindungan Perempuan Buruh Migran, SP Palu mengatakan Ada satu kasus penempatan unprosedural (tidak berdokumen) yang dialami oleh perempuan pekerja migran Indonesia yang kami advokasi dan berhasil dipulangkan sampai di Desa Lambara di tahun 2022.
Menurut Yana sapaan karibnya “Saat ini SP Palu sedang melakukan advokasi sebanyak 6 kasus pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri berasal dari Kabupaten Sigi”.
“Dipekerjakan secara unprosedural di negara penempatan kemudian rentan mengalami kasus trafficking. Mereka mengalami pelanggaran hak dan kekerasan serta berbagai bentuk eksploitasi seperti gaji tidak dibayar, larangan untuk berkomunikasi dengan keluarga, penyitaan dokumen pribadi, jam kerja lebih dari 8 jam bahkan bekerja selama 18 jam, intimidasi, tidak mendapatkan hak makan dan minum, kekerasan verbal dan kecelakan kerja (patah tangan), dipaksa bekerja dalam kondisi sakit”, jelas Yana dalam rilisnya yang diterima Celebesta.com, Selasa (02/05/2023)
Lebih lanjut Aktivis Perempuan itu mengatakan bahwa pihak sponsor atau calo saat diminta pertanggungjawaban oleh keluarga untuk memulangkan perempuan pekerja migran, mereka selalu memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan pemerasan terhadap keluarga dengan meminta biaya pemulangan sedikitnya sekitar Rp.8.000.000.
Padahal salah satu alasan pekerja migran untuk bekerja karena alasan ekonomi.
Angka kasus penempatan unprosedural yang setiap tahunnya selalu meningkat di tangani oleh Solidaritas Perempuan Palu.
Hal itu terjadi karena kebijakan Kepmenaker Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI Pada Pengguna Perseorangan di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah.
Selain itu, menurut SP Palu dengan adanya Sistem penempatan satu kanal (one channel system) ke Arab Saudi yang telah disepakati secara bilateral sejak 2018
kembali diberlakukan seiring dengan pulihnya pandemi.
“One channel system penempatan ke
Arab Saudi yang disebut sebagai uji coba sistem penempatan ke Timur Tengah. System inilah yang biasanya dijadikan modus oleh calo untuk merekrut calon PPMI, selain menawarkan iming-iming gaji tinggi dan kerja layak”, sambung Yana.
Padahal, Menurut Yana, Pemerintah telah mengesahkan UU nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) dan di Kabupaten Sigi telah ada Perda Nomor 1 tahun 2022 tentang Pelindungan Pekerja Migran Kabupaten Sigi namun kebijakan ini belum di implementasikan dengan maksimal.
“Untuk itu kami berharap agar pemerintah daerah Sulawesi Tengah dan pemerintah pusat harus melakukan langkah-langkah Pemenuhan hak PPMI yang masih berjuang di Negara penempatan, yang setiap saat nyawanya terancam, agar segera dipulangkan ke daerah asal dengan selamat serta dipenuhi haknya”, ungkap Dia.
SP Palu juga meminta Kementerian Ketenagakerjaan segera mencabut Keputusan Menteri Ketenagakerjaan nomor 260 tahun 2015 Tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara Kawasan Timur Tengah. Kemudian Pemerintah Kabupaten Sigi segera mengimplementasikan PERDA Kabupaten Sigi Nomor 1 tahun 2022 tentang Perlindungan Pekerja Migran. (AS)
Komentar