oleh

Update Pengakuan Wilayah Adat Region Jabalnusra

Celebesta.com – JAKARTA, Status pengakuan wilayah adat di region Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (Jabalnusra) terdapat 94 peta wilayah adat dengan total luas 0,5 juta hektar tersebar di 7 (tujuh) provinsi dan 24 kabupaten/kota.

Menurut data yang dirilis Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) melalui Sistem Registrasi Wilayah Adat pada 17 Agustus 2021 beberapa waktu yang lalu, Provinsi Banten terdapat 10 peta wilayah adat dengan luas 36.718 hektar.

Dari total luas wilayah adat itu terdapat 9.671 hektar potensi hutan adat dan 3.509 di antaranya telah ditetapkan melalui produk hukum daerah maupun ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Jawa Barat tercatat dalam Sistem Registrasi Wilayah Adat 2 (dua) peta wilayah adat dengan luas 3.328 hektar dengan potensi hutan adat seluas 2.347 hektar dan 31 hektar di antaranya telah ditetapkan melalui produk hukum daerah Kabupaten Ciamis maupun ditetapkan oleh KLHK.

Jawa Tengah terdapat 1 peta wilayah adat dan telah ditetapkan melalui produk hukum daerah dan SK KLHK seluas 64 hektar. Menyusul Jawa Timur terdapat 3 peta wilayah adat dengan luas 512 hektar. Sementara Provinsi Bali terdapat 5 peta wilayah adat dengan luas 7.404 hektar dan 621 hektar di antaranya telah ditetapkan melalui produk hukum daerah.

Berikutnya, Provinsi Nusa Tenggara Barat terdapat 20 peta wilayah adat dengan luas 144.173 hektar dan 75.584 hektar di antaranya memiliki potensi hutan adat terletak di Kabupaten Lombok Utara.

Selanjutnya Nusa Tenggara Timur terdapat 53 peta wilayah adat dengan luas 320.446 hektar. Dari total luas wilayah adat itu terdapat 90.254 hektar di antaranya memiliki potensi hutan adat tersebar di Kabupaten Manggarai Timur dan Kabupaten Ende.

Baca Juga: Update Pengakuan Wilayah Adat Region Sulawesi

Menanggapi status pengakuan wilayah adat region Jawa, Bali dan Nusra (Jabalnusra) itu, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) yang selama ini fokus melakukan pemetaan wilayah adat secara partisipatif, melalui Divisi Advokasi dan Jaringan mengatakan sangat penting integrasi peta wilayah adat ke dalam kebijakan satupeta (One Map Policy).

“Paling penting pada percepatan pengakuan masyarakat adat dan integrasi peta wilayah adat ke dalam kebijakan satupeta, sebagai salah satu referensi dalam proses sinkronisasi tumpang tindih ruang,” jelas Imam Hanafi, Divisi Advokasi dan Jaringan saat dikonfirmasi Celebesta.com, Sabtu (21/8/2021).

Lanjut Imam sapaan akrabnya, percepatan proses registrasi tanah adat untuk memberikan jaminan keamanan dan kepastian ruang hidup dan sumber-sumber penghidupan bagi masyarakat adat.

“Dan karena pentingnya pengakuan terhadap Masyarakat Adat, maka mutlak diperlukan Walidata untuk Masyarakat Adat ini. Karena rejim hutan adat dan tanah komunal saja tidak cukup memadai untuk melakukan identifikasi, verifikasi dan registrasi wilayah adat dan tanah adat,” tegas Imam.

Baca Juga: Permen Hutan Adat, Perubahan dan Implementasi (4 Selesai)

Sementara itu, Direktur Eksekutif Rimbawan Muda Indonesia (RMI), Wahyubinatara Fernandez mengatakan, dari paparan data yang ada terlihat jelas gap potensi versus realisasi yang sangat besar. Menurut Wahyu sapaan akrabnya, sejak Permen LHK Nomor 21 Tahun 2019 sudah ada mekanisme perlindungan untuk potensi wilayah adat dan hutan adat, sehingga saat ini (Peta Wilayah Indikatif hutan Adat) PILHA Fase ke-4, sudah ada 1 juta hektar lebih yang terlindungi di seluruh Nusantara.

“Maka peluang ini perlu dimaksimalkan, walaupun kendala lama soal tata waktu antara validasi dan verifikasi dalam proses hutan adat dan PILHA karena tetap harus melalui verifikasi menurut P.9 Tahun 2021, masih akan jadi kendala,” jelas Wahyu.

Kendala ini kata Wahyu, sebetulnya bisa diatasi dengan pelibatan para pihak beserta resources-nya yang dapat membantu verifikasi sehingga antrian tidak panjang, serupa dengan Tim Perhutanan Sosial yang dikelola langsung Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial (PKPS) – Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL).

“Kalau mau lebih akuntabel proses di PKTHA (Pengaduan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat) harus terbuka dan terpublikasi. Dibuat selayaknya layanan publik terakreditasi yang bahkan jelas estimasi waktunya,” ungkap Wahyu. (mk)

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan