Celebesta.com – BULUKUMBA, Bahan dasar yang digunakan dalam menenun cuma satu jenis benang, yaitu benang katun putih. Benang yang digunakan dalam satu kali tenun yaitu lima gulung besar benang.
Nurfitriana Alfia, Penenun Asal Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan merupakan Alumni Fakultas Pertanian, Universitas Muslim Indonesia di Sulawesi Selatan berbagi cerita tentang proses pembuatan tenun di tanah kelahirannya itu.
“Tenun Kajang tidak terlepas dari keseharian Masyarakat Adat Kajang. Semisal warna hitam dilambangkan sebagai bentuk kesederhanaan, kita tidak boleh berpenampilan mewah dan harus sederhana dalam berbicara,” tuturnya di Pasar Rakyat Virtual, diselenggarakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Sabtu (19/12/2020).
Menurut Ana sapaan akrabnya, sebelum menenun benang katun yang berwarna putih terlebih dahulu diberi pewarnaan alami dengan bahan baku namanya tarung atau daun nila/indigo yang dicampur dengan air, proses perendaman daun tarung tersebut dilakukan selama semalam dan keesokan harinya itu diperas kemudian.
“Proses pewarnaan bukanlah tahapan yang mudah. Dibutuhkan waktu dan kerja yang panjang untuk membuatnya. Itu dimulai dari memanen daun tarung (Indigo) sebanyak dua sampai tiga karung antara 15-35 kilo gram). Kemudian, daun-daun itu direndam air sebanyak 10-30 liter,” jelasnya.
Lanjut Ana, selama satu sampai dua hari direndam. Rendaman perlu diperas serta dicampur kapur (aporo) dan air fermentasi arang (ahu). Lalu, campuran dari daun indigo dan air kapur serta abu ini diendapkan lagi satu malam. Pelan-pelan, air yang tampak jernih dari rendaman itu disaring atau dibuang dan bagian yang kental dipindahkan ke wadah atau tempayan yang terbuat dari tanah liat. Jika seluruh proses dilakukan dengan benar, akan tampak warna biru pekat kehitaman.
Proses perendaman benang dilakukan berulang-ulang selama dua sampai tiga jam setiap pagi dan sore selama 14 hari. Benang-benang yang direndam itu terus dicuci dan dikeringkan, lalu direndam lagi dan terus berulang sampai warna hitam yang diinginkan, akhirnya muncul.
Setelah pewarnaan, benang-benang berwarna pekat itu akan dipintal (nipaturung). Untuk membuat satu sarung tenun, dibutuhkan waktu tiga hari untuk mempersiapkan benang-benang. Proses selanjutnya adalah memasukkan atau menyusun benang-benang ke alat tenun (ngane), benang dikeringkan setelah benang kering barulah dipake untuk menenun.
Tahapan tersebut banyak dilakukan oleh perempuan muda karena membutuhkan ketajaman penglihatan. Proses itu membutuhkan waktu satu atau dua hari. Tetapi, tak boleh dilakukan kalau ada kabar duka. Setelah ngane selesai, barulah aktivitas menenun dilanjutkan.
Biasanya kata Ana, pada hari pertama menenun, benang-benang akan terasa kasar, sehingga perlu dibubuhkan pelembab yang terbuat dari nasi basi untuk menghaluskan benang-benang yang akan ditenun. Adonan nasi basi itulah yang dibubuhkan dengan sisir yang terbuat dari sabut kelapa, sehingga punya fungsi melicinkan sekaligus merekatkan benang-benang yang akan ditenun.
“Waktu pengerjaan kain tenun itu tergantung dari kondisi si penenun apabila dia rutin setiap hari menenun maka kain tenunnya biasa selesai dalam waktu paling cepat satu minggu, dan apabila si penenun melakukannya diselang waktu luangnya maka kain tenun itu biasa selesai dalam jangka waktu yang lama biasa sampai satu bulan atau dua bulan lamanya,” ungkapnya.
Adapun bahan yang digunakan yaitu benang, dan alat yang digunakan Tanrang ajeng, Pappakang, Panggepe, Balira/Baliro digunakan untuk menyentak benang, Tumpa, Pappasolongang adalah tempat penyimpangan alat kecil untuk menenun semacam benang dan sebagainya. Pakkarakang, Kara, Palili, Taropong merupakan tempat pengulungan benang yang dipake dalam menenun, Bu’rung, Suru’, Boko-boko merupakan alat yang digunakan untuk menahan pinggang penenun agar tenun dapat seimbang, Sissiri, Pari’ dan Api’.
“Setelah selesai ditenun, kain dicuci bersih, lalu dijemur kemudian dihentakkan menggunakan alat berat ukuran sekitar lima kilogram untuk membentang kain sehingga membuatnya lurus,” urainya.
Keunikan lain dari kain tenun Kajang adalah aksen hitam yang mengkilat. Biasanya, setelah kain-kain selesai ditenun, kami akan menggosok kain dengan batu karang (Keong/ batu laut). Penggosokan ini disebut anggarusu’ dan proses itulah yang memberikan kesan berkilau dari kain tenun Kajang tersebut.
Makna yang terkandung dalam tenun Kajang adalah kesederhanaan. Artinya berpakaian engkau sederhana dimana warna hitam kain tenun Kajang ini erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat adat Kajang yang selalu hidup sederhana, mulai cara mereka berdiri, berjalan, duduk, dan berbicara harus sederhana. Hitam melambangkan kesederajatan dalam berpakaian yang sama yaitu warna hitam. (*)
Editor: Arman Seli
Komentar