oleh

Partai Alternatif, Wacana atau keharusan?

Oleh : Azman Asgar

(Ketua Partai Rakyat Demokratik Kota Palu)

Pembangunan Partai Politik alternatif tidak boleh sekedar berhenti di wacana, tapi harus di dorong lebih maju dan lebih siap menjadi Partai peserta pemilu”.

Demokrasi multi partai merupakan salah satu tuntutan yang berhasil dinikmati oleh semua anak bangsa Indonesia sejak rezim otoritarianisme orde baru berhasil digulingkan dari tampuk kekuasaan. Banyak Partai politik yang mulai tampil secara terbuka, dengan beragam spektrum ideologi, bahkan bisa beranak pinak dari partai-partai besar sebelumnya. Itu merupakan buah dari perjuangan panjang anti terhadap status quo dan perjuangan untuk demokratisasi.

Seperti halnya Revolusi Perancis (1789-1799), Reformasi juga merupakan titik awal di mana kaum elit (baca: Borjuis) mulai mentransformasikan dirinya menjadi seorang demokrat, atas nama hak asasi dan kebebasan, demokrasi di bajak oleh kelompok-kelompok reformis gadungan, kebebasan individu di legitimasi demi memperluas sirkulasi modal dan cengkraman kekuasaan di lapangan ekonomi dan politik.

Demokrasi liberalpun lahir, Partai-partai politik mulai menjamur bak di musim penghujan, dengan beragam platform perjuangan. Partai di anggap paling punya potensi menjadi wadah untuk menggerogoti sumber daya Negara, membangun kembali status-quo dan oligarki sekaligus bagi-bagi jatah sesuai deal-dealan politik.

Di sana (Partai), langkah-langkah mengkebiri kemandirian dan kedaulatan itu sebenarnya sedang di mulai, tidak adanya aturan tegas terkait sumber keuangan Partai Politik, membuat setiap Partai Politik ikut-ikutan meliberalkan dirinya sebagai salah satu perangkat penting dalam sebuah demokrasi. Akibatnya, Partai dengan senang hati melacurkan diri mereka terhadap setiap modal asing dengan segala kepentintannya yang akan menjadi penyandang dana utama pembesaran Partai.

Para pemilik modal tersebut secara tidak langsung akan menjadi pemilik sah partai politik, pertautan modal dan elit Partai itu nantinya akan membentuk sebuah oligarki di tubuh Partai itu sendiri.

Dari pertautan modal dan elit politik itu kita akan menemukan hasil yang memprihatinkan di dalam sebuah Partai politik. Mulai dari tidak adanya demokratisasi di internal Partai. Partai berubah menjadi saham di mana pengendali utamanya adalah mereka yang punya saham besar dalam sebuah Partai Politik, Platform tinggalah platform semata.

Tidak heran, begitu banyaknya Partai Politik bermunculan tidak lantas mendekatkan harapan kesejahteraan dan keadilan itu kepada rakyat. Sebaliknya, kehadiran Partai politik justru semakin menjauhkan harapan rakyat terhadap Demokrasi dan kepercayaan terhadap Partai Politik itu sendiri. Partai politik belum mampu menjadi wadah jalan keluar atas persoalan yang tengah dihadapi bangsa, Partai belum mampu menjadi sekolah politik bagi setiap warga Negara Indonesia, bahkan kadernya sekalipun.

Di lain sisi, kelompok pro demokrasi juga di ambang kegelisahan atas ketidak sesuaian harapan perjuangan (dahulu) dan realitas politik yang tengah dihadapi. Beragam tindakan sudah dilakukan, dari intervensi pemilu lewat Partai politik sampai keimanan terhadap gerakan People power, bagi saya keduanya adalah tesis yang sedang mendapat pengujian dan bertumpu pada dua hal yang sama, yakni kesadaran masa.

Wacana membangun Partai alternatifpun mencuat kembali, meski sebelumnya partai-partai alternatif seperti PRD dan Partai Buruh pernah menjadi partai peserta pemilu sekalipun hasilnya belum banyak memberi kontribusi bagi perubahan fundamental bagi bangsa ini. Ketidakmaksimalan bisa menjadi evaluasi tersendiri di tubuh partai. Tapi, saya tidak hendak mengevaluasi itu terlalu jauh, bagi saya itu pengalaman berharga di dalam medan elektoral.

Sebuah hasil riset dua lembaga survey politik Politika Research and Consulting (PRC) dan Parameter Politik Indonesia (PPI) bisa jadi membangun kembali harapan gerakan pro demokrasi di tanah air dalam menuntaskan pembentukan satu kekuatan politik baru dalam bentuk Partai politik di 2024. Dalam pengumumannya di Jakarta, Minggu (24/2), mayoritas responden menyatakan tidak punya afiliasi di Partai politik manapun. Terdapat 85,9 persen masyarakat menjawab tidak merasa dekat dengan Partai politik. Sementara, 14,1 persen menjawab dekat atau berafiliasi langsung dengan Partai, baik secara langsung maupun tidak langsung (sumber: Republika.co.id).

Sebelumnya pada tahun 2019 Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga merilis hasil surveinya. Dimana masyarakat cenderung mencoblos figure calon ketimbang Partai Politik. 65 persen masyarakat cenderung memilih figur, sementara 35 persen lainnya memilih Partai politik.

Dari dua hasil survei lembaga kredibel tersebut, kita bisa mengcapture sebuah fenomena politik di masyarakat sekaligus menjadikan realitas politik yang ada untuk terus dan teguh membangun kekuatan alternatif dalam bentuk Partai politik yang tidak lagi sekedar wacana tapi sebuah keharusan sejarah masa kini. Ada 85,9 persen rakyat Indonesia yang tidak bisa di klaim sebagai afiliasi salah satu Partai politik yang ada.

Ini bisa menjadi target sasaran kelompok pro demokrasi untuk mengajak, mengorganisasikan, mendidik dan menggerakan mereka untuk terlibat langsung dalam pembangunan kekuatan baru, Partai politik alternatif di tengah situasi sekonomi politik yang di kuasai oleh 1 persen orang yang kita kenal dengan istilah oligarki.

Angka 85,9 persen merupakan floating mass atau masa yang tidak melekat secara struktur maupun ideologi dengan Partai manapun di Indonesia. Gelombang resesi, pademi Covid-19, UU Cipta Kerja, korupsi, pembengkakan hutang, kemiskinan dan ketidakadilan sosial merupakan basis material yang harus di tangkap sebagai fakta objektif untuk menawarkan gagasan alternatif dari demokrasi liberal lewat satu kekuatan Partai politik alternatif.

Situasi dunia berubah secara drastis, utamanya ketika muncul fenomena resesi akibat pandemi Covid-19. Fenomena yang ada justru direspon secara serius oleh Partai-partai progresif pengusung gagasan kerakyatan di belahan dunia. Faktanya tidak sedikit Partai-partai progresif  justru menjadi pemenang pemilu di negaranya. Mulai dari Partai sosialis yang di pimpin oleh Pedro Sanchez di Spanyol, kemenangan Partai Evo Morales di Bolivia, Venezuela hingga kemenangan Partai kiri Yunani dan kemenangan-kemenangan Partai progresif lainnya.

Kesemuanya adalah fakta sejarah yang harus menjadi keseriusan kelompok pro demokrasi di Indonesia dalam melihat setiap peluang yang ada di tanah air dalam melawan dominasi dan hegemoni oligarki yang semakin solid. Dominasi oligarki di tanah air harus menjadi trigger bagi semua komponen pro demokrasi untuk bersama-sama berhimpun dalam satu kekuatan Partai politik yang memberikan pendidikan politik terhadap rakyat sekaligus membangun kesadaran rakyat tentang perjuangan menuju masyarakat adil makmur seperti yang sudah diamanatkan oleh UUD Tahun 1945.

Demokrasi Liberal ugal-ugalan telah gagal menjamin keadilan dan kesejahtraan rakyat, begitupun dengan Partai politik yang ada. Ini momentum semua kelompok pro demokrasi dan pro kemandirian nasional harus bersatu, berhimpun, bertukar pikiran dan menyatukan kekuatan dan modalnya dalam gerbong Partai politik.

Partai yang dibentuk harus di dorang maju ke gelanggang pemilu, tidak lagi sekedar menjadi Partai gerakan an-sich, Partai yang cenderung sektarian yang di dalamnya hanya menghimpun kelompok aktivis semata. Bagaimanapun keterlibatan dan kesadaran masa adalah penentu perubahan yang dicita-citakan.

Pembangunan Partai Politik alternatif tidak boleh sekedar berhenti di wacana, tapi harus di dorong lebih maju dan lebih siap menjadi Partai peserta pemilu. Mulai dari kedisiplinan kader, management organisasi, administrasi, pendidikan kader, strukturisasi, style Partai, mengangkat isu-isu populisme yang mudah di pahami rakyat, terbuka dan yang terpenting demokratis.

Semua adalah hal mendasar yang harus dikerjakan dari sekedar wacana pembangunan Partai alternatif di tengah himpitan aturan Partai politik yang semakin melanggengkan kelompok oligarki di tanah air.

*Opini ini merupakan tanggungjawab sepenuhnya pada Penulis.

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan