Celebesta.com – Jakarta, menjelang pembukaan Indonesia Climate Justice Summit (ICJS), Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menegaskan forum temu rakyat ini akan menjadi tonggak penting bagi perjuangan keadilan iklim di Indonesia.
Forum ini akan dibuka dengan pernyataan dari delapan subjek rentan yang akan menyampaikan langsung atas dampak krisis iklim. ARUKI menekankan bahwa krisis iklim bukanlah persoalan teknis, melainkan persoalan politik.
“Krisis iklim hari ini bukan sekadar soal cuaca atau banjir. Persoalan ini adalah soal politik, sejauh mana negara hadir menjalankan tanggung jawab konstitusionalnya untuk memastikan bumi dan rakyatnya keluar dari masalah,” ujar Torry Kuswardono, Yayasan PIKUL dikutip dalam siaran persnya, Senin (25/08).
ICJS lahir dari keresahan rakyat atas kegagalan negara menangani krisis iklim. RUU Keadilan Iklim yang diinisiasi masyarakat sipil akan menjadi agenda utama dalam forum ini. ARUKI mengundang DPR untuk berdiskusi, karena sebagai ‘wakil rakyat’ mereka berkewajiban mengakomodasi aspirasi publik dalam setiap pembahasan kebijakan.
“RUU Keadilan Iklim adalah kebutuhan mendesak. Tanpa payung hukum yang jelas, masyarakat dan sumber daya alam Indonesia akan terus menjadi korban. RUU ini hadir sebagai satu-satunya harapan untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dansehat,” jelas Raynaldo Sembiring, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).
Lebih lanjut, Armayanti Susanti dari Solidaritas Perempuan mengatakan bahwa ICJS menjadi ruang penting bagi suara perempuan yang selama ini terpinggirkan dalam kebijakan pembangunan. Krisis iklim telah memperberat beban mereka, dari hilangnya akses air bersih hingga meningkatnya risiko kekerasan.
“Kebijakan ke depan harus memastikan perlindungan dan partisipasi penuh perempuan,” ujar Armayanti Susanti.
Sementara itu, Erwin Suryana dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menegaskan, krisis iklim membuat nelayan kehilangan hasil tangkap dan terancam keselamatannya di laut.
“Lebih berat lagi, proyek-proyek pembangunan di pesisir justru menggusur ruang hidup kami. Jika suara nelayan terus diabaikan, maka kami akan selalu jadi korban, baik di laut maupun di darat,” ungkap Erwin.
Dalam catatan ARUKI, lebih dari 28.000 bencana iklim terjadi dalam satu dekade terakhir, berdampak pada lebih dari 38 juta jiwa, dengan kerugian ekonomi mencapai Rp 544 triliun hanya dalam periode 2020-2024. Fakta ini menegaskan bahwa krisis iklim bukan wacana global, melainkan kenyataan sehari-hari yang dihadapi rakyat.
ICJS akan berlangsung pada 26-28 Agustus 2025 di Jakarta, menghadirkan 500-1000 peserta dari masyarakat adat, petani, nelayan, perempuan, buruh, miskin kota, orang muda, hingga penyandang disabilitas dengan tema “Gerakan Rakyat, Solusi Rakyat: Mengukuhkan Keadilan Iklim dari Lokal ke Global”.
ICJS hadir sebagai ruang politik rakyat untuk merumuskan tuntutan bersama, sekaligus menegaskan posisi masyarakat sipil menuju Konferensi Iklim COP30 di Brasil. (*)
Komentar