oleh

PAPANJATI: Tanah Bukan Milik Negara Tapi Hak Rakyat

Celebesta.com – SURABAYA, Pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid beberapa waktu yang lalu menyebut seluruh tanah di Indonesia adalah milik negara adalah tafsir keliru, berbahaya, dan menghidupkan kembali logika penjajahan.

Pernyataan Menteri ATR/BPN itu memantik respon berbagai pihak seperti Paguyuban Petani Jawa Timur (PAPANJATI), LBH Surabaya dan WALHI Jawa Timur dalam pernayataan sikapnya menyatakan bahwa pandangan itu serupa dengan domein verklaring yang dipakai kolonial Belanda untuk merampas tanah rakyat. Sejarah membuktikan, tafsir semacam ini hanya akan melahirkan ketidakadilan agraria yang lebih luas.

Kami tegaskan, rakyatlah pemilik tanah. Makna “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 adalah mandat bagi negara untuk mengatur, melindungi, dan mendistribusikan tanah demi kemakmuran rakyat — bukan untuk mengklaim kepemilikan mutlak dan merampasnya.

“Pernyataan Nusron jelas bertentangan dengan konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi”, tegas Ketua Papanjati, Yatno Subandio dikutip dalam pernyataan sikapnya, Selasa (12/08/2025).

Lebih lanjut, di Jawa Timur, tafsir keliru “tanah negara” ini akan menjadi bensin di atas api konflik agraria yang sudah lama membara. Dari Pakel, Alasbuluh, Wongsorejo, hingga Pasuruan Timur, ribuan hektar tanah rakyat terancam hilang oleh HGU mati, klaim sepihak militer, dan proyek industri.

“Alih-alih menyelesaikan konflik, kebijakan semacam ini memberi stempel legal pada perampasan tanah”, ungkapnya.

Kasus di Desa Pakel menunjukkan bagaimana BPN secara sepihak menerbitkan HGU kepada PT Bumi Sari tanpa keterbukaan dan partisipasi warga. Warga hanya menguasai 318,2 hektar dari total 1.304,9 hektar wilayah desa.

Di Alasbuluh dan Wongsorejo, HGU yang sudah mati tidak mengembalikan hak warga, malah diikuti ancaman pembangunan kawasan industri. Di Pasuruan Timur, sepuluh desa dibayangi klaim militer yang berubah wujud menjadi proyek industri.

Atas dasar itu, PAPANJATI, LBH Surabaya dan WALHI Jawa Timur mendesak Presiden RI dan Menteri ATR/BPN untuk mencabut pernyataan yang bernuansa kolonial, menghentikan tafsir keliru “tanah negara”, dan segera menjalankan penyelesaian konflik agraria dengan keberpihakan pada rakyat.

Reforma agraria sejati bukan sekadar retorika — ia harus mengembalikan tanah kepada rakyat yang berhak dan menghentikan praktik penggusuran demi kepentingan modal.

“Tanah untuk rakyat, reforma agraria untuk keadilan, negara wajib menjamin sesuai UUD NRI 1945!”, tutupnya. (*/mk)

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan