Celebesta.com – Jakarta, Pasca Konferensi Dunia Keanekaragaman Hayati (COP16) yang berlangsung pada 1 November 2024 di Cali, Kolombia, urgensi pengesahan RUU Masyarakat Adat di Indonesia semakin mendesak.
Rukmini Paata Toheke, Dinamisator Regional Sulawesi Jaringan Pemangku Hak Areal Konservasi Kelola Masyarakat (JPH AKKM), dalam diskusi publik bertajuk “Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat dalam Merespon Kebijakan Konservasi Pasca COP16” yang diselenggarakan di Rumah AMAN, Jakarta, Rabu (4/12), menjelaskan bahwa Masyarakat Adat Ngata Toro telah lama mempraktikkan konservasi berbasis kearifan lokal.
Rukmini menambahkan bahwa upaya itu dilakukan diantaranya dengan mendokumentasikan hukum adat, mengelola tempat-tempat yang dapat dikelola dan sekolah adat.
“Kami memiliki filosofi tiga tungku kehidupan, Taluhi Katuhua, dimana masyarakat menjaga hubungan baik dengan pencipta bumi yang telah memberikan isinya dengan sesama manusia serta alam. Ketika kita merusak alam, maka kita merusak kehidupan. Ini menjadi landasan kami untuk menjaga kearifan leluhur. Ini menjadi kebanggaan kami sebagai Masyarakat Adat. Namun, negara kurang menghargai upaya kami,” tegasnya, dikutip dalam siaran Pers Koalisi Kawal RUU MA, Kamis (5/12/2024).
Senada dengan itu, Mufti Fathul Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI), menyebut bahwa 80% keanekaragaman hayati dunia berada di wilayah Masyarakat Adat. Namun, UU KSDAHE di Indonesia justru mengecilkan peran mereka.
“Paradigma konservasi kita belum bergeser, padahal Masyarakat Adat terbukti menjadi aktor utama dalam menjaga biodiversitas,” ungkapnya.
Sementara itu, Tommy Indyan dari Direktorat Advokasi kebijakan Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menegaskan bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah langkah penting untuk melindungi hak-hak Masyarakat Adat.
Tommy menekankan perlunya definisi yang jelas, mekanisme pendaftaran yang sederhana, dan pengakuan hak-hak perempuan, pemuda, serta anak-anak adat dalam RUU Masyarakat Adat.
“RUU yang ideal harus berbasis pada prinsip HAM dan mencakup mekanisme pemulihan hak, penyelesaian konflik, serta penguatan hak atas identitas budaya dan wilayah adat,” tuturnya.
Pengesahan RUU Masyarakat Adat tidak hanya memberikan perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat, tetapi juga memperkuat peran mereka dalam mencapai target KM-GBF secara inklusif. Langkah ini menjadi krusial untuk memastikan keberlanjutan konservasi dan keanekaragaman hayati di Indonesia. (*)
Komentar