Aldy Saputra
(Deputy II, Badan Registrasi Wilayah Adat)
Balige, 28 Agustus 2023 – Sebuah kelompok petani yang merupakan keturunan dari Ompu Rikkot Hutapea, yang berada di wilayah Aek Godang, menemukan patok beton dengan ketinggian setengah meter yang telah tertanam di dalam tanah adat di huta Aek Godang. Kehadiran patok ini telah memicu rasa khawatir, dan salah satu petani menyadari bahwa patok tersebut sebenarnya menandakan batas dari kawasan hutan lindung. Ternyata, wilayah tanah adat seperti sawah, kebun buah, dan kemenyan berada di dalam batas kawasan hutan lindung tersebut. Sebagai respons, masyarakat yang merupakan keturunan dari Ompu Rikkot Hutapea segera kembali ke kampung dan berdiskusi dengan Raja Huta untuk membahas temuan ini.
Pemancangan patok batas ini merupakan bagian dari langkah penataan batas kawasan hutan yang sedang dilaksanakan oleh Kesatuan Pengelolaan Kawasan Hutan (KPH) XII Tarutung. Kegiatan ini adalah bagian dari komitmen yang diambil oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menyelesaikan proses penataan seluruh kawasan hutan hingga mencapai 100 persen pada tahun 2023.
Proses ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti luas dan kondisi wilayah hutan, serta kerjasama yang terjalin antara berbagai pihak yang terlibat dalam proses tersebut. Tujuan dari penataan ini adalah untuk mengatur perlindungan dan pengelolaan kawasan hutan secara menyeluruh, termasuk dalam kategori Hutan Konservasi, Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, dan Hutan Produksi Konversi. Selain itu, langkah ini juga sesuai dengan kebijakan pengelolaan yang berlaku dalam konteks skema hutan adat.
Pomparan Ompu Rikkot Hutapea, sebuah komunitas adat yang berlokasi di Kabupaten Tapanuli Utara, menemukan adanya patok batas kawasan hutan di wilayah adat mereka. Patok ini sebelumnya tidak diketahui oleh masyarakat, sehingga suatu pertemuan diadakan pada bulan Januari 2021 di sebuah Gereja. Pertemuan ini melibatkan berbagai pihak, termasuk unit Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) XII Tarutung, Camat Adian Koting, Kepala Desa Dolok Nauli, Raja Huta Aek Godang Tornauli, dan masyarakat. Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai patok yang telah ditemukan di kawasan hutan, namun tidak ada keputusan final yang diambil pada saat itu.
Situasi tersebut terjadi karena pengelolaan kawasan hutan dilakukan oleh masyarakat melalui opsi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dalam kawasan dan Perhutanan Sosial, tetapi skema hutan adat tidak termasuk dalam pilihan tersebut. Perhutanan sosial yang ditawarkan hanya memberikan akses terhadap sumber daya hutan, tanpa memberikan hak adat kepada masyarakat. Sejak saat pertemuan tersebut, larangan dan pembatasan terhadap pengambilan rotan dan kayu bakar telah menjadi isu sosial yang diperbincangkan di kalangan masyarakat Aek Godang Tornauli.
Asal nama “Aek Godang” berasal dari sungai yang membelah dua bukit dengan ketinggian sekitar 957 meter di atas permukaan laut (mdpl). Permukiman Aek Godang terletak di sisi barat hilir sungai godang. Ikan khas Batak atau Ihan Batak masih dapat ditemukan di sekitar hulu sungai. Kayu hutan digunakan sebagai bahan utama dalam pembuatan papan, konstruksi rumah, serta tempat-tempat ibadah. Petai hutan dan durian yang telah ada sejak masa Ompu Rikkot Hutapea Aek Godang dijadikan sebagai sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hutan kemenyan atau tombak hamijon juga menjadi sumber pendapatan yang mendukung pendidikan keluarga.
Setelah patok batas dipancangkan, Raja Huta memutuskan untuk menolak keberadaan patok tersebut melalui putusan yang diambil dalam musyawarah. Sebuah pertemuan besar di Desa Tornauli melibatkan partisipasi organisasi AMAN Tano Batak dengan tujuan mendukung masyarakat Aek Godang Tornauli dalam mengklarifikasi hak dasar mereka terkait pengelolaan sumber daya alam. Klarifikasi ini melibatkan berbagai aspek hak, termasuk hak ekonomi, sosial, dan budaya. Menurut pandangan AMAN Tano Batak, wilayah adat Aek Godang memiliki sumber daya alam yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Masyarakat telah menyadari pentingnya memahami kebijakan nasional dan lokal terkait pengakuan serta perlindungan bagi masyarakat yang hidup berdasarkan hukum adat, termasuk opsi skema hutan adat. Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 telah memberikan definisi bagi hutan adat sebagai “hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
Proses penetapan lebih lanjut terkait hutan adat diatur lebih rinci oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perhutanan Sosial. Salah satu syarat dasar untuk menetapkan suatu wilayah sebagai hutan adat adalah Pemerintah Kabupaten harus menerbitkan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA), serta melakukan penetapan MHA (Masyarakat Hukum Adat) dan Wilayah Adat melalui Surat Keputusan (SK) Bupati.
Melalui Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2021 yang berkaitan dengan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Tapanuli Utara, masyarakat dari Pomparan Ompu Rikkot Hutapea telah meminta bantuan dari AMAN Tano Batak untuk mengumpulkan informasi yang mencakup penggunaan lahan, sejarah asal-usul, aturan adat, serta aspek sosial-budaya.
Langkah ini diambil untuk mematuhi ketentuan dari peraturan daerah tersebut. Dengan komitmen bersama, usaha ini telah mendorong proses pemetaan wilayah adat di Aek Godang Tornauli. Hasil pemetaan dalam bentuk Peta Wilayah Adat Aek Godang Tornauli berhasil diselesaikan pada pertengahan tahun 2021. Dorongan utama dalam menetapkan hak atas tanah ini bermula dari agenda verifikasi hutan adat yang dilakukan di Kabupaten Tapanuli Utara pada bulan November 2021.
Pada bulan November 2021, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara memberikan dukungan untuk pelaksanaan Verifikasi Teknis Hutan Adat dengan memberikan bantuan tenaga teknis kepada Tim Terpadu (Timdu) yang terdiri dari berbagai pihak, termasuk KPH XII Tarutung, Dinas Lingkungan Hidup, BPSKL Sumatera, AMAN Tano Batak, dan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Timdu tersebut melakukan peninjauan lapangan guna memahami bagaimana interaksi masyarakat dengan calon lokasi hutan adat.
Hasil dari peninjauan lapangan tersebut mencakup berbag ai aspek, seperti sengketa dan konflik lahan, makam yang merupakan tanda pembuka huta, serta batas-batas wilayah adat dan hutan adat. Dengan adanya dukungan dari berbagai pihak, calon hutan adat di wilayah Aek Godang dianggap memenuhi syarat meskipun ada pengurangan luas dari wilayah adat dan hutan adat yang sebelumnya telah diidentifikasi.
Pada bulan Februari 2022, dikeluarkan Surat Keputusan (SK) yang menetapkan wilayah hutan adat di Aek Godang Tornauli seluas 544 hektar, yang merupakan bagian dari total luas wilayah adat seluas 1.356,21 hektar yang telah ditetapkan dalam SK sebelumnya oleh Bupati. Namun, hingga saat ini, masyarakat Aek Godang Tornauli masih belum memiliki informasi yang pasti mengenai batas-batas wilayah hutan adat mereka. Hal ini terjadi akibat adanya pengurangan luas wilayah dari usulan awal hutan adat. Oleh karena itu, perubahan dalam bentuk dan luas wilayah hutan adat harus melalui proses penataan kawasan hutan agar batas-batasnya dapat ditentukan secara tepat.
Berbagai hasil dari hutan adat seperti kemenyan, durian, petai, jengkol, dan aren memiliki potensi untuk meningkatkan perekonomian Pomparan Ompu Rikkot Hutapea dan marga boru. Pada saat musim panen kemenyan dan buah-buahan, para pria dari Aek Godang menghabiskan waktu selama lima hari di hutan, menggunakan pondok sederhana sebagai tempat tinggal sementara untuk mengumpulkan hasil dari hutan yang bukan kayu.
Sementara itu, perempuan mengambil peran dalam mengelola sawah untuk memastikan tersedianya persediaan beras dan kacang tanah. Kebiasaan ini telah diteruskan dari generasi sebelumnya sebagai warisan budaya. Pendekatan serupa juga diterapkan dalam pengelolaan pohon kemenyan dengan pendekatan prinsip manoloti, yaitu dengan memindahkan anakan pohon untuk ditanam dengan jarak sekitar lima meter dari pohon induk. Pendekatan ini bertujuan untuk menjamin keberlanjutan sumber mata pencaharian bagi generasi mendatang.
Pada tanggal 18 Agustus 2023, sebuah pertemuan diadakan di Sopo Padau Arsak, Aek Godang Tornauli, yang melibatkan masyarakat setempat, organisasi AMAN Tano Batak, dan BRWA. Pertemuan ini bertujuan untuk menekankan pentingnya melakukan inventarisasi terhadap hutan adat. Inventarisasi ini mencakup pendataan dan analisis potensi sumber daya hutan berdasarkan karakteristik wilayah.
Hasil dari inventarisasi ini akan digunakan untuk merencanakan pengelolaan wilayah adat dan hutan adat dengan lebih baik. Pendekatan ini memungkinkan aspirasi masyarakat untuk diintegrasikan dalam program-program pemerintah daerah yang bertujuan mendukung keberlanjutan wilayah adat, sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru yang berkelanjutan.
Banyak pihak percaya bahwa pengakuan dan penegasan hak-hak masyarakat adat serta wilayah adat yang mereka huni memiliki peran penting dalam meredakan konflik terkait pemanfaatan ruang, memberikan akses yang lebih adil terhadap sumber daya alam, dan juga meningkatkan kualitas hidup mereka.
Signifikansi dari proses pengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat terhadap wilayah tempat tinggal mereka merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemenuhan kebutuhan dasar dalam ranah ekonomi, sosial, dan budaya, dan elemen ini tidak boleh diabaikan.
Karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pengakuan ini agar mereka dapat terlibat aktif dalam proses peneguhan hak atas tanah yang sedang berlangsung di Indonesia. Semua langkah ini memiliki urgensi dalam merespon aspirasi masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam untuk menciptakan masa depan yang lebih baik lagi.
*Substansi dari tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab penulis.
Komentar