Moh. Rafli*
Beberapa kritik saya atas Omnisbus Law terkait RUU tentang Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) kemudian berubah menjadi Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker). Di mana Presiden diberi posisi sebagai penguasa jagat.
Metode seperti ini sudah diterapkan pada beberapa negara seperti dalam sistem pemerintahan di Jerman, yakni di dalam Grund Gesetz atau UUD di Jerman, Presiden diberi kekuasaan bukan wewenang untuk masuk wilayah legislatif. Dalam rangka untuk mensejahterakan rakyatnya. Disamping iut tetap punya kewenangan eksekutif.
Beberapa kalangan menyebutkan bahwa ini adalah respon pemerintah untuk menyelesaikan suatu persoalan yang oleh hukum administrasi disebut diskresi konstitutional. Padahal diskresi merupakan rumpun dari hukum administrasi negara bukan dari rumpun hukum tata negara.
Catatan singkat terkait Naskah Akademik Omnibus Law RUU Cipta Kerja, kini jadi perhatian publik, mulai dari pakar, media, dan Organisasi. Yang diperhatikan kebanyakan adalah substansi pasal perpasal.
Tulisan kali ini akan membahas betapa Cilakanya jika RUU ini disahkan dan mungkin akan menjadi UU paling tebal pertama dalam sejarah UU kita (jika disahkan), terlebih makna yang disusun dalam 11 klaster terkait dengan 79 UU yang sudah berlaku amat luas cakupannya.
Pro-kontra tampak ke permukaan. Kelompok pengusaha seakan mendapat angin segar dan pastinya di barisan pendukung dalam RUU ini. Kemudian para aktivis Lingkungan, Pers, dan serikat buruh mengambil posisi berseberangan. Tentunya dalam iklim demokrasi saya mengafirmasi hal ini sesuatu yang baik.
Melihat akan tebalnya RUU ini jika di print out, ini bisa diasumsikan draftnya telah disiapkan dalam waktu yang lumayan panjang oleh pakar-pakar yang mempunyai keahlian dalam seni penyusunan peraturan perundang-undangan. Adalah wajar juga jika pihak-pihak yang tidak terlibat dalam penyusunannya diberikan waktu yang sama panjangnya atau bahkan lebih lama untuk membahas dan mendiskusikannya.
Sebelum menelaah batang tubuh RUU, agar konstruksi dalam RUU ini dapat dilihat secara utuh, pembacaan lembar demi lembar Naskah Akademik RUU ini merupakan keharusan. Ini yang tampaknya belum mencuat dalam diskusi di ruang publik. Bahkan ada juga forum-forum diskusi yang belum membaca sudah lansung menyimpulkan.
Ada beberapa proposisi penting yang sebenarnya menjadi dasar utama dianggap pentingnya RUU ini. Tentu proposisi hukum yang saya fokuskan di sini mengingat saya tidak cukup pengetahuan soal aspek-aspek ekonomi dan bisnis yang menjadi bagian penting lainnya sebagai fundamen eksistensi RUU Ciptaker. Di antaranya adalah: Pertama, Omnibus Law hanyalah metode dari sekian jenis cara pembuatan peraturan perundang-undangan. Kedua, Presiden sebagai penanggungjawab tertinggi administrasi pemerintahan berhak secara konstitusi membuat diskresi. Ketiga, diskresi merupakan hak prerogatif Presiden. Keempat, agar hukum administrasi negara dapat berjalan sesuai tujuannya, sesuai dengan hak prerogatifnya, Presiden diberikan hak untuk mengubah UU.
Dalil tersebut dapat menghadirkan kesimpulan tentang hak Presiden untuk menjadi Pembuat Hukum Tunggal. Ada Beberapa hal yang subtansial bisa kita jadikan sebagai tolak ukur dalam proposisi di atas.
Pertama, dengan puncak tawaran Presiden sebagai pembuat UU satu-satunya, Omnibus Law tidak lagi dibayangkan sebagai metode semata, tapi ia bertransformasi menjadi tujuan. Saya menyebutnya ada “misi konstitusional” tersembunyi dalam RUU ini. Metode Omnibus Law yang senyatanya hanya berada dalam tataran interpretasi terhadap solusi yang bisa dihadirkan dalam persoalan ketimpangan peraturan perundang-undangan, merengsek masuk pada tubuh konstitusi itu sendiri. Norma pembagian kekuasaan dalam teori trias politika yang mengamanatkan kebersamaan Presiden dan DPR ditiadakan melalui sebuah instrumen.
Satu UU Omnibus Law ini akan menjadi membaurkan 79 UU lainnya (jika disahkan). Bayangkan kalau ada beberapa UU yang dijadikan sebagai Omnibus Law, berapa UU yang dapat dikendalikan langsung di tangan Presiden? Bukan metode yang jadi soal di sini, tapi tujuan intrinsik yang termuat dalam model RUU ini.
Kedua, apakah kewenangan pembuatan hukum merupakan bagian dari diskresi? Mengingat output utama diskresi adalah tindakan berdasarkan kebijakan, bukan hukum. Yang tak kalah merisaukan adalah adanya asumsi bahwa diskresi bagian dari hak prerogatif Presiden.
Logika ini mengandung kecacatan dan karenanya merupakan sesuatu yang keliru dan hasilnya tak hanya berdampak menyesatkan tapi merusak norma yang telah disepakati dalam konstitusi.
*Penulis Merupakan Pengurus LBH LS-ADI dan Sebagai Mahasiswa Pascasarjana Universitas Tadulako.






Komentar