oleh

Pakar Hukum Adat UGM, RUU Cipta Kerja Mempersulit MHA Menikmati Haknya

JAKARTA – Celebesta.com, Perkumpulan HuMa menemukan frasa-frasa yang tidak seragam untuk mengatur masyarakat hukum adat dan hak atas wilayah adat dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.

Dalam konteks subjek hukum terdapat frasa masyarakat hukum adat, masyarakat adat, masyarakat lokal, dan masyarakat tradisional. Sementara untuk mengatur wilayah adat terdapat frasa hak ulayat, hak tradisional, wilayah adat, wilayah kelola masyarakat hukum adat, desa adat, dan kawasan adat.

Menurut pakar hukum adat, Universitas Gadjah Mada, Dr. Rikardo Simarmata persoalan utama pengakuan dengan syarat prosedural dan secara substansi mempersulit masyarakat hukum adat untuk menikmati hak-haknya.

“Persoalan utamanya adalah pengakuan dengan syarat prosedural dan secara substansi mempersulit masyarakat hukum adat untuk menikmati hak-hak tradisionalnya. Padahal UUD 1945 mencita-citakan agar masyarakat hukum adat dapat menikmati hak-hak tradisionalnya”, jelas Rikardo sapaan akrabnya, Selasa (10/3/2020).

Sementara pakar hukum adat dari Univeraitas Andalas, Dr. Kurnia Warman melihat substansi pengaturan mengenai masyarakat hukum adat dalam RUU Cipta Kerja dapat disimpulkan beberapa hal.

Pertama, RUU Cipta Kerja yang digadang-gadang pemerintah untuk menyelesaikan tumpang tindih pengaturan, ternyata sama sekali tidak menyelesaikan sektoralisme pengaturan MHA atas wilayah adat.

Kedua, ketidakjelasan pengakuan MHA dan wilayah adat yang dilanggengkan oleh RUU Cipta Kerja menyebabkan MHA rentan menjadi korban perampasan tanah demi kepentingan inveatasi. Ketiga, RUU Cipta Kerja ini tidak bisa diharapkan untuk mendorong penyelesaian konflik penguasaan tanah dan pengelolaan sumber daya alam yang senantiasa merugikan MHA. (mk)

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan