oleh

Tuntutan Masyarakat Adat Nusantara Bergema di Sungai Amazon

Celebesta.com – Jakarta, Di atas kapal Rainbow Warrior milik Greenpeace yang berlayar menyusuri Sungai Amazon, Brasil, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menuntut pemerintah menghentikan kekerasan terhadap Masyarakat Adat di manapun di dunia.

“Setop kriminalisasi Masyarakat Adat! Sahkan RUU Masyarakat Adat sekarang!,” kata Rukka, dikutip dalam siaran persnya, Kamis (13/11/2025).

Rukka menegaskan, Masyarakat Adat telah mewarisi pengetahuan tradisional (traditional knowledge) secara kolektif yang menopang setiap upaya dalam menjaga ekosistem. Namun, suara Masyarakat Adat kerap terpinggirkan dalam perundingan guna mengatasi krisis iklim.

“Dari Sumatera hingga Papua, Masyarakat Adat terus dikriminalisasi atas nama pembangunan dan percepatan Proyek Strategis Nasional,” ujar Rukka.

Kasus kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat terjadi di beberapa daerah seperti Masyarakat Adat Maba Sangaji di Pulau Halmahera, Maluku Utara. Poco Leok di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat Adat Soge dan Goban Runut di Nangahale, Sikka, Nusa Tenggara Timur, dan Masyarakat Adat Togean di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah.

Pada Oktober 2025, Pengadilan Negeri Soasio di Tidore Kepulauan, Maluku Utara, menghukum 11 orang Masyarakat Adat Maba Sangaji dengan hukuman penjara selama lima bulan delapan hari. Sebelumnya, Masyarakat Adat Maba Sangaji memprotes aktivitas tambang nikel PT Position dengan menggelar serangkaian ritual adat. Hakim menyatakan Masyarakat Adat Maba Sangaji bersalah menghalangi aktivitas tambang nikel PT Position.

Lalu, sejumlah pemuda Poco Leok mengalami kriminalisasi berulang sejak PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) memperluas eksplorasi geothermal di wilayah adatnya. Proyek panas bumi berlabel “transisi energi” ini mengancam wilayah-wilayah adat milik 14 gendang (kampung) di Pegunungan Poco Leok, Manggarai, Pulau Flores, NTT.

Hingga hari ini, sebanyak 19 orang Masyarakat Adat Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah masih menghadapi proses hukum lantaran menolak Taman Nasional Kepulauan Togean yang penetapan zonasinya tidak melibatkan masyarakat.

Sementara tujuh Masyarakat Adat di Sikka, Pulau Flores dijadikan tersangka atas dugaan mengancam imam Katolik pemimpin PT Kristus Raja Maumere, korporasi perkebunan kelapa milik Keuskupan Maumere yang terlibat dalam konflik lahan dengan Masyarakat Adat.

Catatan Akhir Tahun 2024, Transisi Kekuasaan dan Masa Depan Masyarakat Adat Nusantara, AMAN mencatat 687 konflik agraria di wilayah adat seluas 11,07 juta hektar dalam satu dekade terakhir. Konflik tersebut mengakibatkan lebih dari 925 orang warga Masyarakat Adat dikriminalisasi.

AMAN menuntut negara untuk menghentikan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat. Selain itu, AMAN juga menuntut agar negara segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat sebagai jalan keluar bagi serangkaian persoalan yang terus mengancam dan menindas Masyarakat Adat. Hingga kini, RUU Masyarakat Adat yang telah dibahas sejak 2009 itu masih belum disahkan.

Rukka juga mempersoalkan sejumlah istilah baru yang mulai masuk ke wilayah adat, seperti perdagangan karbon, ekonomi hijau, energi hijau, transisi energi berkeadilan dan green jobs. Alih-alih membawa kesejahteraan bagi Masyarakat Adat, istilah asing itu justru menambah ancaman baru bagi Masyarakat Adat.

“Masyarakat Adat kini malah menghadapi stigma dan diskriminasi akibat proyek-proyek yang mengatasnamakan energi hijau,” katanya.

Rainbow Warrior bersama 200 perahu dari 60 negara berlayar menyusuri Sungai Amazon pada perhelatan Konferensi Para Pihak ke-30 atau COP30-UNFCCC di Belém, Brasil. Armada perahu (fortilla) ditumpangi lebih dari 5.000 orang perwakilan Masyarakat Adat termasuk Rukka dan Fransiska Rosari Clarita You, seorang anak muda dari wilayah adat Pulau Papua. Barisan perahu itu berlayar sambil menyuarakan kecaman atas solusi iklim palsu dan menegaskan jawaban untuk dunia yang berkelanjutan adalah Masyarakat Adat.

Dari barat, terdapat armada Yaku Mama (Ibu Air), Masyarakat Adat yang melintasi 3.000 kilometer melintasi sungai Amazon menuju arena COP30. Armada meluncur pada pertengahan Oktober dari tepi Sungai Napo di Coca, Ekuador, dengan perahu-perahu yang dihiasi spanduk bertuliskan “Akhiri Bahan Bakar Fosil – Keadilan Iklim Sekarang”.

Dari selatan, ada The Answer Caravan dari Mato Grosso – pusat produksi kedelai dan jagung Brasil. Kapal dipimpin Masyarakat Adat terhormat Rãoni Metuktire dan pemenang penghargaan Goldman Alessandra Korap Munduruku, fokus utamanya adalah menyoroti monokultur yang merusak seperti kedelai dan rencana untuk proyek transportasi yang semakin merusak, seperti rencana pembangunan jalur kereta api Ferrogrão.

Dari utara, Flotilla 4 Change melakukan pelayaran hampir nol karbon melintasi Atlantik yang didedikasikan untuk para pembela bumi. Lalu ada Laraçu Scientific River Caravan, yang merupakan kolaborasi antara 10 institusi akademik di Prancis dan Brasil.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Greenpeace Brasil Carolina Pasquali mengatakan, ribuan orang Masyarakat Adat yang ikut dalam armada perahu ini menunjukkan kekuatan gerakan global yang bersatu sebagai komunitas yang terdampak krisis iklim, cuaca ekstrem, hingga perusahaan yang mengambil untung dari kerusakan planet kita.

“Masyarakat Adat yang telah berjuang turun-temurun demi hak-hak, tanah, dan hutannya serta masyarakat sipil yang menuntut tindakan nyata dari para pemimpin dunia dan negosiator di COP. Ini harus menjadi COP yang penuh aksi. Aksi untuk iklim, aksi untuk hutan, aksi untuk manusia,” katanya. (*/mk)

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan