Celebesta.com – JAKARTA, Pemerintah Indonesia harus melakukan perubahan fundamental agar masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya dapat merasakan manfaat dari pendanaan iklim yang berkeadilan.
Country Director Greenpeace untuk Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan, salah satunya perubahan fundamental itu adalah tidak lagi meloloskan industri ekstraktif dan melanggengkan deforestasi secara terencana.
Leonard mengingatkan kembali pada dua kalimat kunci Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) António Guterres dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin COP30 yang berlangsung di Belém, Brasil 6-7 November 2025.
“Ini bukan sekadar tentang suhu. Ini tentang kelangsungan hidup manusia, hutan dan masa depan,” ungkap Leonard dikutip dalam Siaran Persnya, Jumat (07/11/2025).
Dalam KTT Pemimpin COP30, Guterres mengakui kegagalan negara-negara dalam menjaga komitmen kenaikan suhu global di bawah 1,5°Celsius.
“Kegagalan menjaga kenaikan suhu global di bawah +1,5°C merupakan kegagalan moral dan kelalaian yang fatal,” kata Guterres.
Menurutnya, dunia membutuhkan perubahan paradigma untuk membatasi besaran dan durasi lonjakan kenaikan suhu Bumi dan segera menurunkannya.
Guterres mendesak komitmen pendanaan iklim sebesar US$1,3 triliun per tahun bagi negara-negara berkembang pada 2035 seperti yang telah disepakati di COP29 Baku, Azerbaijan. Lanjut Guterres, negara-negara maju harus memimpin dalam penyediaan pendanaan iklim sebesar US$ 300 miliar per tahun.
“Semua penyedia harus menunjukkan bahwa mereka akan berkontribusi untuk memenuhi tonggak US$ 300 miliar dan US$ 1,3 triliun. Sudah bukan waktunya lagi untuk negosiasi,” kata Guterres.
Lebih lanjut, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, besaran pendanaan iklim sekarang masih terlalu kecil yang menandakan negara-negara maju belum serius membayar utang iklim kepada negara-negara berkembang. Sebaliknya, pada saat yang sama, praktik kolonialisme alam dan industri ekstraktif yang merusak hutan justru diberi pendanaan lebih besar.
“Bila praktik itu dilanggengkan, negara-negara berkembang seperti Indonesia akan melewatkan kesempatan emas untuk tumbuh secara berkelanjutan,” kata Bhima.
Bhima menilai Indonesia sudah selayaknya menuntut negara maju membayar utang iklim mereka selagi mendorong sumber pendanaan domestik bertransisi ke ekonomi restoratif.
Kata Bhima, kebijakan APBN dan bank domestik belum mempertimbangkan pentingnya transisi dari ekstraktif ke ekonomi restoratif, yang menciptakan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp2.208 triliun dalam 25 tahun mendatang.
Bhima juga mendesak pemerintah Indonesia bukan hanya duduk dalam arena COP30 melainkan secara aktif menyuarakan reformasi lembaga keuangan internasional, termasuk Bank Dunia, Asian Development Bank dan New Development Bank agar tak lagi mengucurkan pinjaman ke perusahaan-perusahaan perusak lingkungan.
Inisiatif Tropical Forests Forever Fund (TFFF) yang dimotori Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva, menurut Bhima, bisa menjadi solusi riil yang dapat diadaptasi pemerintah Indonesia. Pendanaan senilai US$125 miliar itu mencakup skema results-based payments bagi negara hutan tropis yang menurunkan deforestasi.
Sebanyak 20 persen dari dananya dialokasikan bagi masyarakat adat dan komunitas lokal.
Bukan hanya berdampak positif pada upaya konservasi hutan, Bhima memandang TFFF berpotensi menurunkan emisi karbon signifikan sekaligus menggerakkan ekonomi masyarakat adat penjaga hutan.
“Kondisi tersebut hanya dapat terjadi bila terjadi pelibatan masyarakat adat secara bermakna, bukan sekadar keputusan elite pemerintah dan mitra internasional,” katanya.
Faktanya masih banyak masyarakat adat yang kehilangan hutan, ruang hidup, sumber pangan dan identitas budaya di tengah-tengah industri perusak lingkungan di berbagai wilayah Indonesia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan MADANI Berkelanjutan Nadia Hadad mendesak pemerintah untuk memastikan pendanaan iklim yang diadvokasi secara global benar-benar mengalir sampai komunitas yang menjaga hutan dan ekosistem.
”Bukan hanya melalui proyek besar yang rawan greenwashing,” katanya. (*/mk)






Komentar