Celebesta.com – JAKARTA, Saat ini, masyarakat adat Wambon Kenemopte di Kampung Subur dan Aiwat, Distrik Subur, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan, sedang menghadapi permasalahan penggusuran dan pengrusakan lahan dan hutan yang dilakukan perusahaan pemegang izin Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Merauke Rayon Jaya (MRJ), terjadi senjak awal April 2024.
Berdasarkan laporan masyarakat adat terdampak bahwa PT MRJ telah menggusur lahan dan hutan adat dengan cara melanggar hukum adat, yakni penggusuran dan pembabatan hutan tanpa musyawarah dan restu izin sebagaimana hukum adat setempat. Perusahaan PT MRJ juga belum menyampaikan dokumen perizinan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman dari negara dan persyaratan seperti kelayakan lingkungan, rencana kerja usaha, AMDAL dan sebagainya kepada masyarakat.
Pejabat Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua Selatan, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Selatan, dan Kepala Bidang Lingkungan Hidup DLHKP Provinsi Papua Selatan, juga mengkonfirmasi tidak menerbitkan surat pemberian izin dan rekomendasi, dan persyaratan usaha lainya, tentang keberadaan dan rencana operasi perusahaan hutan tanaman industri PT MRJ.
Persyaratan dan perizinan dimaksud berdasarkan PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Permen LHK Nomor P.28 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian, Perluasan Areal Kerja dan Perpanjangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekososistem atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri pada Hutan Produksi sebagaimana telah diubah dengan Permen LHK Nomor P.19/Menlhk/Setjen/Kum.1/4/2019, dan Permen LHK Nomor P.62/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2019 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri.
“Perusahaan PT MRJ tidak menghormati HAM Masyarakat Adat Wambon Kenemopte, perusahaan diduga melanggar hukum yakni beroperasi membongkar dan menggusur hutan, dan memanfaatkan hasil hutan kayu, tidak sesuai ketentuan negara dan tanpa izin masyarakat adat”, jelas Staf Advokasi Pusaka, Tigor G. Hutapea melalui keterangan persnya, Kamis (18/4/2024).
Masyarakat adat Wambon Kenemopte di Distrik Subur, telah berkali-kali menyatakan dan melakukan penolakan terhadap rencana operasi perusahaan PT MRJ secara langsung terhadap operator perusahaan (2021) dan disampaikan melalui surat pernyataan pencabutan izin kepada pemerintah Kabupaten Boven Digoel, Dinas Kehutanan dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua, DPMPTSP Provinsi Papua Selatan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2023). Namun kata Tigor, belum ada tanggapan dan langkah konkrit yang dilakukan.
Operasi bisnis perusahaan hutan tanaman industri pulp PT MRJ menimbulkan kekhawatiran dan ancaman bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat adat, akibat hilangnya hutan alam dan diganti tanaman asli, hilangnya sumber mata pencaharian, pangan dan pendapatan ekonomi masyarakat, terbatasnya hak dan akses usaha masyarakat, rusaknya lingkungan hutan alam dan kawasan gambut, maupun perairan sungai dan rawa di wilayah adat.
“Ini merupakan bentuk pelanggaran hak-hak dan pengabaian keberadaan masyarakat setempat,” tegasnya.
Masyarakat adat Wambon Kenemopte bereaksi atas tindakan ilegal, pengrusakan hutan dan pembangunan camp perusahaan di wilayah adat, dengan memperingatkan pihak pekerja setempat untuk menghentikan aktivitas pengrusakan hutan dan pembangunan logpond perusahaan. Masyarakat akan memberikan sanksi adat jika kegiatan perusahaan melanjutkan pengrusakan hutan adat.
Hasil kajian Pusaka (2022), kawasan hutan adat yang menjadi areal konsesi perusahaan PT MRJ didominasi kawasan hutan alam primer dengan luas mencapai 131.314 hektar dan terdapat lahan gambut seluas 2.020 hektar, yang bernilai konservasi tinggi (NKT) kategori 2.2 yakni kawasan alam yang berisi dua atau lebih ekosistem. Kawasan bentang alam yang luas ini memiliki kapasitas untuk menjaga proses dan dinamika ekologi. Terdapat pula kawasan NKT kategori 3, yang mempunyai ekosistem langka dan terancam punah.
Atas dasar itu, Pusaka meminta Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah konsisten dan sungguh-sungguh menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan menjunjung tinggi prinsip Hak Asasi Manusia dalam setiap rencana dan proyek pembangunan inklusif, yang sejalan dengan UUD 1945 dan UU Otonomi Khusus Papua Nomor 21 Tahun 2001 Jo UU Nomor 2 Tahun 2021.
Pasal 38-42 menyatakan bahwa dalam kerangka perekonomian inklusif dan pemajuan hak dan pemberdayaan hak Orang Asli Papua, negara wajib menghormati dan melindungi hak-hak sosial ekonomi, mata pencaharian, Pengetahuan modal sosial dan sumber-sumber hidup masyarakat adat Papua.
“Kami meminta pejabat Pemerintah Kabupaten Boven Digoel dan Provinsi Papua Selatan, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera mengambil tindakan penertiban, dengan menghentikan dan mengevaluasi keberadaan dan aktivitas perusahaan PT Merauke Rayon Jaya, atas dugaan pelanggaran hukum yang terjadi dan telah menimbulkan keresahan dalam masyarakat,” jelas Tigor G. Hutapea. (*)
Komentar