oleh

Pusaka: Akui dan Hormati Hak Perempuan Adat atas Tanah dan Hutan

Celebesta.com – JAKARTA, Setiap tahun pada tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional (International Women Day), terlahir dari gerakan perempuan menuntut keadilan. Saat ini keberadaan kedudukan, hak-hak dan peran perempuan dan anak perempuan masih mendapat sorotan karena konstruksi sistem patriarki dan praktik penindasan, kekerasan berbasis gender.

Kekerasan seksual, diskriminasi, ketidakadilan dan pengabaian hak-hak perempuan dan anak perempuan, yang cenderung meningkat. Data Komnas Perempuan (2023) menunjukkan indeks kekerasan dialami perempuan mengalami peningkatan, baik di ranah personal, ranah publik dan ranah negara.

“Di Tanah Papua, hak dasar perempuan atas kebebasan dan terlibat menentukan dan membuat keputusan atas kebijakan dan proyek sosial ekonomi dan budaya, hak atas kesehatan, hak atas pangan dan gizi yang layak, acapkali diabaikan. Perempuan memiliki keterkaitan erat dengan tanah, hutan dan lingkungan alam,” jelas Natalia Yewen, Staf Divisi Advokasi Kampanye dan Komunikasi, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dalam siaran Persnya, Jumat (8/3/2024).

Namun pengetahuan, peran dan hak-hak perempuan belum sepenuhnya dihormati dan dilindungi oleh negara maupun kelompok dominan yang mengendalikan sistem ekonomi dan kekuasaan. Pemerintah tidak melibatkan perempuan dan komunitas masyarakat adat dalam proses pembentukan hukum hingga penetapan peraturan, mengabaikan hak masyarakat adat dan perempuan dalam menerbitkan izin usaha pemanfaatan kekayaan alam yang berlangsung di wilayah adat.

Pelanggaran dan pengambilan kontrol dan penyingkiran hak dan akses masyarakat adat dan hak perempuan atas tanah dan hutan, serta kekayaan alam lainnya, dilakukan secara paksa dan cara tipu daya, menjadi sumber penyebab kemiskinan, ketidakadilan ekonomi, kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Praktik ekstraksi sumber daya alam dalam skala luas menyebabkan merosotnya fungsi ekologis dan mengakibatkan bencana ekologis.

Kemorosotan ekologi dan pembatasan akses pada lahan dan hutan membuat perempuan menambah tenaga dan waktu untuk usaha produksi dan memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Peran ganda yang membebani, menindas dan beresiko bagi perempuan. Mereka juga menjadi korban eksploitasi dalam sistem kerja ‘perbudakan modern’, mengalami penipuan, kekerasan dan diskriminasi.

Perempuan Pembela HAM di Papua menghadapi risiko dalam membela hak-hak mereka. Beberapa pengacara perempuan Papua mendapat intimidasi, ancaman, tindakan teror, dan komentar negatif dari pihak berwenang selama membela hak-hak mereka.

“Aktivis perempuan dituduh makar, ditangkap dan dikriminalisasi. Perempuan Pembela HAM dari komunitas yang melakukan pembelaan atas tanah dan hutan adat seringkali diintimidasi dan ancaman kekerasan oleh aparat keamanan negara maupun perusahaan,” tutupnya. (*/mk)

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan