Celebesta.com – PALU, Direktur Eksekutif Yayasan Tanah Merdeka (YTM), Richard Fernandes Labiro merespon Badan Koordinasi, Himpunan Mahasiswa Islam (BADKO HMI) Sulawesi Tengah terkait penambangan emas di kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).
“Mesti melihatnya secara dialektis historis tentang dampak dari keberadaan Taman Nasional itu sendiri sejak lama. Hal yang mesti diketahui oleh Ketum BADKO HMI Sulteng, Alief Yeraldhi adalah bagaimana keberadaan TNLL menciptakan enclosure bagi masyarakat dataran tinggi di Sulawesi Tengah,” Kata Ricard saat dihubungi Celebesta com, Minggu (31/12/2023).
Baca juga : BADKO HMI Sulteng: Harus Ada Solusi PETI di TNLL
Menurut Ricard, Sejarah TNLL telah dibahas pada World Parks Conggress di Bali tahun 1982. Kemudian, ditetapkan pada tahun 1993. Sejak munculnya Undang-Undang Kehutanan pada Tahun 1967, tapal batas Taman Nasional, termasuk TNLL, telah mematok lahan-lahan peladang di dataran tinggi Sulteng sebagai bentuk perlindungan terhadap hutan dan satwa liar.
Tapal batas yang mematok lahan dan kebun petani, sekaligus tanah adat, telah melahirkan perampasan tanah secara terstruktur atau disebut enclosure.
Dalam buku yang ditulis Tania Li, peneliti dan antropolog yang melalang buana dalam meriset praktek pembangunan “salah atur” di Sulteng menuliskan, praktek pembangunan berbasis konservasi memaksa perubahan perilaku Masyarakat dataran tinggi atau yang tinggal di sekitaran Kawasan Taman Nasional Lore Lindu dengan berbagai macam program pemberdayaan yang justru menciptakan “kesengsaraan”.
Stereotype terhadap Masyarakat Adat dan peladang seperti “tertinggal”, “termiskin” selalu menjadi kata kunci bagi program perubahan perilaku tersebut. Itulah yang disebut Tania Li sebagai “The Will To Improve”. Enclosure atau disebut Tania Li sebagai pematokan, telah memisahkan peladang, petani hingga Masyarakat Adat dari tanah mereka.
“Hal ini yang menciptakan kemiskinan laten, lalu program Pemerintah menstimulus dengan bantuan tunai melalui Kerjasama antar Lembaga. Seperti yang dihadiri oleh Ketum BADKO HMI di Kantor Balai Besar TNLL beberapa hari yang lalu,” ungkap Ricard.
Sebelumnya BADKO HMI Sulteng menyoroti Kerjasama Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem yang akan kucurkan dana Rp. 9.759.000.000 untuk masyarakat lingkar TNLL.
Dalam hal ini, Ketum Alief menawarkan beberapa kebijakan yang bisa dilakukan. Baik kebijakan penegakan hukum maupun pemberdayaan Masyarakat.
“Bagi saya, tawaran dari Bung Alief sama saja narasinya dengan praktik yang menenclosure Masyarakat TNLL beberapa tahun silam. Karena, setiap poin yang ditawarkanya tidak menyentuh akar masalah yang ada yakni Tapal Batas. Atau lebih jelasnya, tawaran itu adalah niat untuk memperbaiki yang berakhir kesengsaraan bagi masyarakat,” ungkap Ricard.
Sejak lama, narasi Pembangunan berbasis konsrvasi telah lama diwacanakan oleh agen-agen Neoliberalisasi Konservatif. Seperti contoh kasus, di Desa Katu, pihak Balai Besar TNLL ingin memindahkan secara paksa orang Katu dari TNLL karena dianggap mengancam ekosistem Taman Nasional.
Orang Katu dianggap bagi mereka tertinggal dan perlu diberdayakan. Makanya, Asian Development Bank, Lembaga keuangan internasional ikut mendanai pemindahan orang Katu di Lembah Behoa Kabupaten Poso ke tempat yang baru. Bagi orang Katu tidak ada kata pindah selain tetap tinggal di tanah mereka. Hingga kini, orang Katu masih tinggal dan bermukim disana.
Tidak hanya ADB, Taman Nasional Lore Lindu sejak lama telah didanai oleh Lembaga Keuangan Internasional seperti USAID, dan dilaksanakan pendanaan tersebut melalui program-program pemberdayaan yang lebih mengarahkan pada perubahan perilaku atau budaya agrarian Masyarakat. Lembaga yang paling diingat Masyarakat yang justru mendapat tentangan bagi Masyarakat adat yaitu The Nature Conservacy atau disingkat TNC.
Dalam studi Tania Li, TNC memisahkan akar kemiskinan Masyarakat dengan keberadaan tapal batas Taman Nasional Lore Lindu dalam Theory Of Change mereka. justru lebih mengarahkan perhatian mereka pada kegiatan ekonomi oportunistik Masyarakat di lingkar batas TNLL dengan praktek ekonomi Masyarakat dari luar.
Hal ini yang membuat TNC melalukan “The Will To Improve” dengan cara mengusulkan pembentukan organisasi Tingkat desa serta mengalihkan aktivitas kaum muda agar tidak menyentuh areal Taman Nasional Lore Lindu, membuat usaha mikro, usaha pemasaran madu, wisata arum Jeram, peternakan kupu-kupu, dan peternakan lebah. Alih-alih TNC mendorong ekomomi Masyarakat miskin disekitaran Taman Nasional Lore Lindu justru hal itu sulit dibuktikan oleh mereka. Demikian riset Tania Li dalam bukunya.
Menurut Ricard, Selain TNC, ada STORMA dari Jerman sebuah Lembaga riset yang fokus pada keanekaragaman hayati di dalam Kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Sama halnya dengan TNC, STORMA lebih fokus menilai perilaku Masyarakat yang mereka nilai dapat merusak tatanan Tapal Batas Taman Nasional Lore Lindu. Sehingga, setiap laporan mereka, istilah “Masyarakat terasing” atau “tertinggal” menjadi sasaran bagi Rencana Tindak Lanjut mereka diakhir laporan riset mereka.
Pematokan atau pemancangan tapal batas adalah perampasan tanah bagi Masyarakat yang hidup di Kawasan hutan. Inilah yang disebut enclosure, pematokan juga telah menjadikan tanah sebagai asset yang dimonopoli oleh tuan tanah dan Perusahaan. Inilah yang kemudian menciptakan penambang-penambang di Kawasan TNLL yang dimana, tambang emas merupakan alternatif bagi kemiskinan yang mereka alami sejak lama.
“Perlu diketahui, di Desa Sidondo, Sibowi hingga Sibalaya, Desa di Tapal Batas Taman Nasional Lore Lindu ini telah lama terenclosure dari tanah mereka. Ditambah lagi, pasca bencana alam, irigasi Gumbasa belum kunjung selesai. Banyak Masyarakat menjadi petani penggarap dan buruh tani. Sisanya buruh tambang baik di tambang emas maupun buruh di Morowali,” jelas Ricard. (AS)
Komentar