PALU-Celebesta.com, Di tengah Konflik Agraria yang masif, koalisi mahasiswa dan masyarakat sipil gelar diskusi publik menyongsong Hari Tani Nasional bertajuk 63 tahun UUPA serta potret kehidupan kaum tani masa kini bertempat di Pelataran SBSN, Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu. Senin (18/09/2023)
Adapun organisasi yang berpartisipasi dalam diskusi adalah Serikat Demokratik Mahasiswa Nasional (SDMN), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Liga Mahasiswa Nasional Indonesia (LMND), Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID),
Kemudian Serikat Nelayan Teluk Palu (SNTP), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Serikat Hijau Indonesia (SHI), Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Serikat Tani Sigi (STS), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Karya Massa Nusantara dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK).
Sementara itu, menjadi pembicara adalah Wandi, WALHI Sulteng, Iksan, SDMN Palu dan Udin, AGRA Sulteng.
Menarik ketika Udin, AGRA Sulteng mengatakan bahwa sebagai petani belum pernah merasakan kesehjateraan.
“Sejak lahir hingga saat ini Belum pernah merasakan kesehjateraan petani.
Ini adalah bentuk gagalnya reforma Agraria di Indonesia,” demikian kata Udin, AGRA Sulteng.
Menurut Udin, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 tidak dilaksanakan secara maksimal
“Gambaran umum Sulteng, misalnya di dongi-dongi. Taman nasional yang sudah di enclave tetapi masih di intervensi oleh pemerintah,”terang Udin.
Dari data yang dihimpun celebesta.com tahun 2022, hampir 65 persen masyarakat Dongi-dongi berada di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).
Petani saat ini sedang memperjuangkan wilayah pertanian 7.216 Hektar yang masuk dalam enclave TNLL. Sementara yang di dibebaskan oleh KLHK masih 1.531 Hektar
Kemudian Luas kawasan yang menjadi perkampungan Dongi-dongi sekitar 12 Km.
Terhitung dari KM 72 sampai KM 82.
Selanjutnya Iksan, Ketua SDMN Palu banyak membahas cikal bakal lahirnya UUPA.
“Atas dasar desakan rakyat Indonesia pada saat itu. Sehingga mendorong rezim orde lama mengeluarkan UUPA,” kata Iksan.
Menurut Iksan, Kebijakan Kolonial Belanda terhadap agraria justru memasifkan monopoli atas tanah.
“Rezim Soekarno mengeluarkan UUPA tidak lepas dari respon atas penguasaan tanah oleh kolonialisme secara besar-besaran,”jelas Iksan
Lahirnya UUPA sebagai bentuk mengakomodir kepentingan kaum tani saat itu.
Sambung Iksan, Dalam Konferensi Meja Bundar yang dihadiri Mohammad Hatta
justru menghianati perjuangan rakyat dan mengembalikan Indonesia menjadi negara jajahan atau setengah jajahan.
“Ada dua aset yang tidak bisa di nasionalisasi waktu itu, milik Jerman dan Jepang. Sementara Nasionalisasi yang dilakukan kaum tani tidak terakomodir dalam Konferensi Meja Bundar,” ungkap Iksan
Iksan juga menguraikan kondisi Sulawesi Tengah saat ini terbit 178 Hak Guna Usaha (HGU) yang dipastikan konflik agraria makin meningkat.
Kebijakan yang didorong tidak menurunkan angka kemiskinan di Sulteng bahkan di Indonesia.
Sementara itu, Wandi Aktivis WALHI Sulteng banyak berbagi informasi tentang kerja-kerja advokasi yang dilakukan.
Seperti advokasi Kawasan Karts, Kabupaten Banggai Kepulauan.
Menurut Dia, Walhi Sulteng bersama Koalisi Advokasi Karst Sulteng (KAKS) sedang Mengampanyekan penolakan dengan memasang spanduk bersama warga di tapak.
Hal itu dilakukan sebagai reaksi bahwa tambang bukan solusi kesejahteraan. Sebaliknya memperburuk ekonomi dan kerusakan lingkungan.
“Kini di Banggai Kepulauan terdapat 31 perusahaan dari sektor pertambangan batu gamping, 3 perusahaan tersebut telah mengantongi izin, 2 perusahaan percabangan, 1 perusahaan mengantongi operasi produksi,” Jelas Wandi
Kemudian 28 perusahaan didorong ke pemerintah daerah agar tidak memberikan rekomendasi untuk melakukan pertambangan batu gamping.
“Walhi Sulteng memperluas konsolidasi untuk melibatkan seluruh komunitas maupun CSO Sulawesi Tengah melakukan penolakan serentak,” Beber Wandi
Sejauh ini, terang Wandi, Dalam kampanye yang dilakukan AMAN Bangkep dan BURUNG Indonesia menggalang dukungan penolakan di tapak terhadap 31 perusahaan yang akan beraktivitas, maka Walhi dan JATAM menggalang kampanye tingkat provinsi maupun nasional.
“Walhi Sulteng bersama Koalisi terus melakukan kampanye penolakan pertambangan batu gamping. Serta melakukan aksi bersama warga untuk mendesak Pemerintah Daerah Kabupaten Banggai Kepulauan tidak mengeluarkan rekomendasi dan mencabut izin yang telah dikeluarkan,” jelas Wandi.
Usai diskusi publik, Koalisi Mahasiswa dan Masyarakat Sipil itu menyatakan solidaritas untuk masyarakat Rempang yang kini menghadapi konflik agraria. (AS)
Komentar