Celebesta.com – JAKARTA, Pada 20 Januari 2023, Perkumpulan HuMa Indonesia merilis Outlook bertajuk “Masyarakat Hukum Adat dan Janji-Janji Padanya”. Berbeda dengan outlook sebelumnya yang menyajikan update data konflik agraria di Indonesia. Kali ini, Outlook HuMa berpangkal pada janji- janji penguasa pada masyarakat hukum adat yang bercabang dan saling berkaitan dengan dimensi lebih luas mengenai legislasi, lingkungan hidup, kehidupan serta hak masyarakat hukum adat.
Diawal pemerintahannya, Presiden Joko Widodo menghadirkan wacana “poros maritim” dan hendak mengembalikan kejayaan nenek moyang sebagai pelaut, yaitu Jalesveva Jayamahe. Pada saat yang sama, dalam janjinya merencanakan reforma agraria seluas 9 juta hektar dan perluasan akses masyarakat terhadap kawasan hutan melalui perhutanan sosial dengan target luasan 12,7 juta hektar.
Seiring berjalannya waktu, target-target itu hanya tercantum dalam kertas berlabel “Dokumen Tertulis yang Dikeluarkan oleh Negara”, baik itu Surat Keputusan Menteri maupun Sertipikat Hak atas Tanah. Namun, ada satu hal yang tak pernah diselesaikannya, yaitu Konflik Agraria.
“Perjalanan selama 9 (sembilan) tahun Rezim Jokowi, minim sekali penyelesaian Konflik Agraria. Sementara itu, wajah-wajah yang (mungkin) tidak kita kenal tergusur dari ruang hidupnya. Itulah fenomena dan fakta yang terjadi di mayoritas masyarakat hukum adat sampai saat ini,” ucap Agung Wibowo, Koordinator Eksekutif HuMa.
Sembilan tahun lalu, pelbagai agenda pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat yang terdiri dari janji-janji pengesahan RUU Masyarakat Adat, pembentukan satgas Masyarakat Adat, peninjauan ulang pelbagai peraturan sektoral, pembentukan mekanisme nasional penyelesaian sengketa, pelaksanaan Putusan MK 35/2012 dan memulihkan korban-korban kriminalisasi.
Justru pada 30 Desember 2022, menjadi momen yang mengagetkan banyak pihak. Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja.
Lebih lanjut, Erasmus Cahyadi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyampaikan bahwa dulu, waktu menyusun Dokumen Nawacita kami diajak untuk mengawal implementasi UU Desa lewat Desa Adat. Namun, implementasinya sangat rendah sekali. Baru 14 Kampung Adat di Kabupaten Jayapura, dan itu juga belum lama ini.
Sementara itu, Sandra Moniaga menyatakan bahwa populisme pasti akan dilakukan oleh politikus untuk mendapatkan dukungan sebanyak-banyaknya dari masyarakat. Hal ini tidak akan berdampak jika masyarakat adat kuat dan matang.
“Janji-janji politikus dapat ditransformasikan menjadi potensi. Bisa menjadi kekuatan untuk bermitra secara strategis. Itu tergantung pada Masyarakat Adat dan pendampingnya juga,” ucap Sandra Moniaga, Komisioner Komnas HAM RI Periode 2017-2022 dan Anggota Perkumpulan HuMa Indonesia.
Sebagai jalan keluar, pendekatan kombinatif dengan pelbagai peraturan digunakan. Misalnya, Permen LHK Nomor 34 Tahun 2017 untuk Pengakuan Kearifan Lokal dan Hak Pengelolaan bagi MHA yang diatur dalam Pasal 2 Ayat (4) dan Pasal 3 sebagai jalan keluar atas pengakuan Hak Pengelolaan diatas Tanah Ulayat.
“Pasal 2 Ayat (4) ini bisa dimanfaatkan dan ini merupakan hal yang didorong kepada Kementerian ATR. Ini merupakan kebutuhan untuk pengelolaan Tanah Ulayat, maka didorong munculnya Sertipikat Hak Pengelolaan diatas Tanah Ulayat. Dengan adanya peluang ini, HPL merupakan salah satu bentuk pengakuan negara kepada masyarakat hukum adat,” ungkap Rikardo Simarmata, Dosen FH UGM dan Anggota Perkumpulan HuMa Indonesia.
Saat dikonfirmasi Celebesta.com, Sabtu (21/1/2023) terkait upaya yang dilakukan kedepan terhadap janji-janji pemerintah pada masyarakat adat, Erwin Dwi Kristianto, Deputi Program Perkumpulan HuMa mengatakan akan terus memperkuat posisi Masyarakat Adat.
“Kami akan memperkuat posisi Masyarakat Adat sehingga tidak terjebak oleh populisme di tahun politik mendatang. Itu dilakukan dengan sekolah lapang, pendidikan hukum kritis, dan kampanye populer,” tutup Erwin. (mk)
Komentar