oleh

Berikut Tujuh Temuan Tim Investigasi atas PT TPL

Celebesta.com – TOBA, Aliansi Gerak Tutup TPL mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera menutup operasional PT Toba Pulp Lestari (PT TPL). Berdasarkan investigasi KSPPM, AMAN Tano Batak, bersama Jikalahari menemukan operasional PT TPL dinilai bertindak secara illegal, melanggar peraturan perundang-undangan, merusak lingkungan hidup dan merampas hutan dan tanah adat masyarakat adat.

“Kita meminta Menteri LHK untuk tegas menyelesaikan persoalan PT TPL di tanah batak. Sangat banyak kerusakan lingkungan dan kerugian bagi masyarakat adat batak yang disebabkan oleh operasional PT TPL,” kata Roki Pasaribu dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) melalui keterangan persnya, Rabu (14/7/2021).

Menurutnya sepanjang 2-16 Juni 2021 KSPPM, AMAN Tano Batak, bersama Jikalahari melakukan investigasi di sektor Tele, Habinsaran, Padang Sidempuan dan Aek Raja mendapatkan temuan lapangan dan dugaan pelanggaran.

Pertama, areal kerja atau konsesi PT TPL illegal.  Konsesi PT TPL berada di atas Kawasan Hutan dengan Fungsi Lindung (HL), Fungsi Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK), dan Areal Penggunaan Lain (APL). Hal itu tidak dibenarkan merujuk pada UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK).

Hasil overlay GIS tim Jikalahari mencatat, kawasan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atau IUPHHKHT PT TPL dengan fungsi kawasan hutan menunjukkan areal PT TPL berada dalam kawasan Hutan Lindung (HL) seluas 11.582,22 hektar, Hutan Produksi Tetap (HP) 122.368,91 hektar, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 12.017,43 hektar, Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) 1,9 hektar dan Areal Penggunaan Lain (APL) 21.917,59 hektar.

Dari luas izin atau legalitas PT. TPL seluas 188.055 hektar, setidaknya 28% atau 52.668,66 hektar adalah ilegal karena berada di atas HL, HPK dan APL.

Kedua, PT TPL melakukan penanaman dalam kawasan HL pada konsesinya. Areal yang seharusnya menjadi kawasan yang dilindungi, justru diubah PT TPL menjadi areal produksi. Ditemukan adanya penanaman eukaliptus yang berdekatan dengan tanaman hutan alam.

Tim Investigasi 2021 menemukan telah ditanami eukaliptus sekitar 318 meter dari jarak penebangan tahun 2017. Artinya, tanaman eukaliptus yang ditemukan Tim Investigasi 2021 bekas kayu alam yang ditebang oleh PT TPL. Penebangan hutan alam kemudian ditanami eukaliptus itu bertentangan dengan UU No. 18 Tahun 2013 sebagaimana diubah dengan UUCK, Pasal 36 No 12 yang mengubah ketentuan Pasal 82 ayat (3) huruf a, b dan c.

Ketiga, PT TPL melakukan penanaman di konsesinya yang berada dalam fungsi APL. Perusahaan kehutanan ini seharusnya mengajukan enclave untuk mengeluarkan areal dengan fungsi APL dari izin konsesi mereka. Areal kerja PT TPL di dalam APL umumnya berada di luar kawasan hutan.

Hal itu bertentangan dengan UU Kehutanan maupun UU Pokok Agraria yang pada prinsipnya APL berada di luar kawasan hutan, dan tidak boleh ada izin atau perizinan berusaha kawasan hutan di APL. Wewenang mengelola APL yang berasal dari kawasan hutan menjadi kewenangan Menteri ATR/BPN.

Keempat, PT TPL memanfaatkan pola Perkebunan Kayu Rakyat (PKR) untuk menanam eukaliptus di luar izin konsesinya demi memenuhi bahan baku produksi. Pola PKR ini memanfaatkan areal milik masyarakat yang dikerjasamakan dengan PT TPL untuk ditanami eukaliptus.

Dalam kehutanan dikenal pola kerja sama antara masyarakat dengan korporasi berupa Kemitraan Kehutanan merujuk pada Permenhut 39 Tahun 2013 tentang pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan kehutanan. Lalu, P.9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial. Kerja sama PT TPL dengan pola PKR dalam areal konsesinya bertentangan dengan aturan kehutanan.

Kelima, PT TPL menebang kayu hutan alam jenis Kulim dan Kempas di dalam konsesinya. Ditemukan aktifitas pembukaan hutan alam, termasuk jenis kulim dan kempas, yang diperuntukkan untuk areal penanaman bibit eukaliptus baru di konsesi PT TPL sektor Habinsaran.

Jenis kayu Kulim dan Kempas termasuk pada tanaman yang dilindungi sesuai dengan PermenLHK No 20 Tahun 2018 jo. PermenLHK No 106 Tahun 2018 tentang perubahan kedua atas PermenLHK 20 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, di mana Kempas dikeluarkan dari jenis tumbuhan yang dilindungi.

Keenam, tanpa pengukuhan kawasan hutan legalitas yang illegal dan tidak legitimate atau tidak diakui masyarakat adat seharusnya segera dikoreksi oleh pemerintah berupa melakukan pengukuhan kawasan hutan.

Konsesi PT TPL diberikan berdasar peta TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) 1982. Peta TGHK ini sifatnya memberikan arahan alokasi kawasan hutan dan fungsinya. Statusnya dalam konteks tata perencanaan kehutanan berupa ‘penunjukan’ yang kemudian ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri. Sementara Peta TGHK 1982 belum masuk ke status penunjukan.

Ketujuh, banyak fasilitas umum seperti kantor pemerintah, perkampungan, jalan lintas, pemakaman, kebun karet, sawit, kopi hingga sawah berada dalam konsesi PT TPL sektor Padang Sidempuan.

“Dampak dari legalitas yang illegal menyebabkan konflik dan kekerasan terhadap masyarakat adat, lingkungan hidup rusak, ekonomi masyarakat hancur, potensi ledakan konflik horizontal, hingga pembiayaan yang tidak layak diberikan pada P TPL,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.

”Tentunya temuan Investigasi bersama KSPPM dan Aman Tano Batak menjadi fakta kuat agar pemerintah dapat mengevaluasi izin konsesi PT TPL, bahkan menutupnya,” tambahnya.

Sementara itu, Roganda Ketua Aman Tano Batak menyebut, kehadiran PT TPL tak hanya menyebabkan konflik dan kekerasan terhadap masyarakat. Penghancuran hutan yang tadinya hutan alam menjadi tanaman eukaliptus berdampak pada kerusakan lingkungan.

“Kasus lain seperti Huta Natinggir, Nagasaribu, dan Natumingka, kerusakan hutan karena penebangan hutan alam oleh PT TPL berdampak pada sulitnya masyarakat mendapatkan air minum dan irigasi untuk persawahan. Kesulitan air menyebabkan sawah berubah fungsi,” ungkap Roganda.

Kata Roganda, bukan hanya lingkungan, ekonomi masyarakat adat batak juga mengalami penurunan serius. Sebelum kehadiran PT TPL, masyarakat di kawasan Danau Toba hidup dari hasil hutan, berladang, beternak dan bersawah. Saat ini, sumber mata pencaharian masyarakat adat di wilayah konsesi mengalami penurunan.

“PT TPL menghancurkan lingkungan hidup dan memiskinkan masyarakat adat. Karena masyarakat adat batak bergantung pada hutan alam yang dirusak oleh PT TPL,” Kata Roganda.

Atas dasar itu, Aliansi Gerak Tutup TPL merekomendasikan pemerintah untuk mencabut izin PT TPL di Kawasan Danau Toba dan segera lakukan pengukuhan kawasan hutan dengan melibatkan masyarakat adat dalam semua proses pengukuhan kawasan hutan. (mk)

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan