oleh

Permen Hutan Adat, Perubahan dan Implementasi (1)

Sejak tahun 2015, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor: P.32/Menlhk-Setjen/2015 tanggal 7 Juli 2015 tentang Hutan Hak (P.32) telah mengalami tiga kali perubahan. Pertama, Permen LHK Nomor P.21/Menlhk/Setjen/Kum.1/4/2019 tanggal 29 April 2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak (P.21).

Kedua, Permen LHK Nomor P.17/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2020 tanggal 14 Agustus 2020 tentang Hutan Adat dan hutan Hak (P.17). Ketiga, Permen LHK Nomor 9 Tahun 2021 tanggal 1 April 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial (P.9).

P.32 ini merupakan salah satu respon pemerintah atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 atas pengujian UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap UUD 1945 (MK 35). Inti dari Putusan MK 35 bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara, melainkan hutan adat adalah hutan yang berada di walam wilayah masyarakat hukum adat.

Tujuan pengaturan hutan hak adalah agar pemangku hutan hak mendapat pengakuan, perlindungan dan insentif dari Pemerintah dalam mengurus hutannya secara lestari menurut ruang dan waktu.

Menurut Pasal 4 yang dapat mengajukan permohonan penetapan kawasan hutan hak kepada Menteri, yaitu Masyarakat Hukum Adat (MHA), perseorangan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam kelompok. Berdasarkan permohonan, Menteri melakukan verifikasi dan validasi.

Verifikasi dan validasi dilaksanakan berpedoman pada Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Nomor: P.1/PSKL/Set/Kum.1/2/2016 tanggal 18 Februari 2016 tentang Tata Cara Verifikasi dan Validasi Hutan Hak.

Berdasarkan hasil verifikasi dan validasi, Direktur Jenderal atas nama Menteri dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja menetapkan hutan hak sesuai dengan fungsinya. Areal hutan hak yang telah ditetapkan dicantumkan dalam peta kawasan hutan.

Dalam hal masyarakat tidak mengajukan permohonan penetapan hutan hak, Menteri bersama pemerintah daerah melakukan identifikasi dan verifikasi masyarakat adat dan wilayahnya yang berada di dalam kawasan hutan untuk mendapat penetapan MHA dan hutan adat.

Menurut Pasal 6, syarat permohonan penetapan hutan adat, yaitu (a) terdapat MHA atau hak ulayat yang telah diakui oleh  Pemerintah Daerah (Pemda) melalui produk hukum daerah; (a) terdapat wilayah adat yang sebagian atau seluruhnya berupa hutan; dan (c) surat pernyataan dari MHA untuk menetapkan wilayah adatnya sebagai hutan adat.

Kemudian dalam hal produk hukum daerah tidak mencantumkan peta wilayah adat, Menteri bersama-sama Pemda memfasilitasi MHA melakukan pemetaan wilayah adatnya.

Hutan adat dapat mempunyai fungsi konservasi, lindung, dan fungsi produksi. Artinya hutan adat dapat berada di areal konservasi, areal lindung, areal produksi, bahkan di Areal Penggunaan Lain (APL).

Hal itu dapat dilihat untuk pertama kalinya hutan adat ditetapkan tanggal 28 Desember 2016 dan diserahkan secara langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara tanggal 30 Desember 2016 dengan total luas mencapai 13.122,3 hektar, terdiri dari Hutan Adat Ammatoa Kajang 313,99 hektar, Hutan Adat Marga Serampas 130 hektar, Hutan Adat Wana Posangke 6.212 hektar, Hutan Adat Kasepuhan Karang 486 hektar, Hutan Adat Tombak Haminjon 5.172 hektar (Nugroho, dkk 2020).

Kemudian Hutan Adat Bukit Sembahyang dan Padun Gelanggang 39,04 hektar, Hutan Adat Bukit tinggai 41,27 hektar, Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam 276 hektar, dan Hutan Adat Tigo Luhah Kementan 452 hektar. (*)

Catatan Redaksi !

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan