oleh

KPPA Sulteng: Minim Edukasi di Daerah Rawan Bencana

Celebesta.com – PALU, Komunitas Peduli Perempuan dan Anak Sulawesi Tengah (KPPA Sulteng) menyayangkan kurangnya bekal pemahaman kebencanaan. Penanganan bencana apa yang harus kita lakukan, padahal Kota Palu ini adalah wilayah yang rawan gempa.

Direktur KPPA Sulteng, Adriani M Hatta menjelaskan, bencana 28 September 2018 tentunya ini banyak melibatkan organisasi internasional maupun nasional serta organisasi lokal yang berada di wilayah Sulteng.

“Saya kira penanganan pasca bencana cukup luar biasa untuk kita semua, organisasi masyarakat sipil yang memang semua terlibat di dalam proses penanganan di Sulteng khususnya di wilayah Palu-Sigi-Donggala (Pasigala), kondisi ini sebenarnya merupakan kondisi yang sudah kita alami semua,” ungkap Adriani di Hotel Jazz, Kota Palu, Rabu (7/4/2021) kemarin-red.

Adriani menceritakan, bencana yang kemarin cukup kita rasakan, dimana kondisi semua masyarakat mengungsi di luar rumah, dimana tidak memiliki fasilitas apapun mereka menggunakan fasilitas seadanya.

Perempuan dan anak tidak memiliki tenda kemudian harus berpanas-panasan di luar ruangan, pada waktu itu juga mendapat hujan kemudian juga mereka harus berlari membawa anak untuk berlindung di bawah pohon dan sebagainya.

Lanjut Adriani, begitu banyak sesungguhnya kondisi yang lebih memprihatinkan terjadi ini hanya sebagian kecil. Belum lagi terjadi likuifaksi kemudian terjadi di tsunami untuk wilayah Palu, kita tidak pernah membayangkan bahwa akan terjadi likuifaksi dan namanya tsunami. Kita tahunya dulu itu tsunami, tidak akan terjadi di teluk, akhirnya kita yang mengalami.

“Kondisi ini yang saya pikir sangat berpengaruh terhadap perlindungan perempuan dan anak yang terdampak dalam kondisi bencana pun kita masih di suruh surat menyurat, menurut saya cukup kacau,” sesalnya.

Menurutnya, peran Organisasi Sipil terhadap perlindungan perempuan dan anak di Sulawesi Tengah dalam kondisi seperti itu kita banyak yang otodidak.

“Karena kita tidak pernah dibekali dengan bagaimana penanganan bencana, apa yang harus kita lakukan. Padahal kita tahu Palu ini adalah wilayah yang rawan gempa, walaupun kita tidak menduga bahwa akan terjadi tsunami ataupun likuifaksi tetapi jauh sebelumnya kita sudah tau Palu ini rawan gempa, tetapi tidak dibekali,” ujar Adriani.

Ia menyayangkan memang Palu ini cukup berlimpah bantuan yang diberikan organisasi-organisasi luar, dibantu organisasi sipil untuk menyalurkan, tetapi organisasi sipil pun kesulitan mengakses bantuan untuk disalurkan ke pengungsi.

“Padahal itu sudah ada di depan mata dan itu pun masih terjadi sampai dengan saat ini, di mana perempuan yang masih berada di huntara, kita 6 bulan lagi sudah menginjak 3 tahun masih di huntara,” keluh Adriani.

Adriani mengatakan sejauh ini untuk membantu kebutuhan masyarakat, KPPA Sulteng juga melaksanakan kegiatan yang berada di Kabupaten Donggala dan Sigi. Di Donggala berada di desa Batusuya dan Lendetovea, kemudian untuk Sigi itu berada di Desa Bobo dan Mantikole yang bekerjasama dengan organisasi Nasional.

Menurutnya, dengan kegiatan pembongkaran, pembersihan puing-puing bangunan yang rumah mereka sudah rusak yang tidak layak huni kemudian dibongkar dan dimanfaatkan sisa puing-puing bangunan untuk dijual kembali dan menjadi sumber penghasilan untuk keluarga mereka.

“Mempekerjakan 408 orang, 50% perempuan dan laki-laki, awalnya saya berpikir bahwa dengan kondisi yang memang kita terpuruk saya berpikir mampukah ibu-ibu ini kerja merobohkan sebuah bangunan dengan tangan mereka, justru ternyata ini salah satu kegiatan yang membuat psikologi mereka lebih baik,” terangnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan karena mereka bisa berkomunikasi sesama orang terdampak dan kemudian bisa jadi ajang curhat mereka, kalau bukan hanya mereka yang mengalami, tetapi ada banyak perempuan lain yang meenderita. Dimana mereka ditinggalkan keluarganya kemudian kehilangan anaknya, kemudian harus tinggal di kamp-kamp pengungsian.

Jadi ini adalah ajang untuk memperbaiki psikologi mereka, kemudian apa yang mereka hasilkan mereka diberi upah dan kita tidak memberikan uang secara tunai tetapi hasil dari mereka bekerja mendapatkan upah, dari upah itu mereka menjadikan modal usaha.

“Jadi awalnya mereka ini adalah orang-orang di pasar karena tidak punya modal usaha, akhirnya tidak berjualan lagi, tetapi dengan upah yang mereka dapatkan itu mereka kembali membeli jualan dan kembali berjualan kembali di pasar dan itu yang kita perbuat sehingga menjadi penyemangat bagi mereka,” tutur Adriani.

Reporter: Jumriani

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan