oleh

KPA Sulteng Desak DPRD Morut Membentuk Panitia Penyelesaian Konflik Agraria

Celebesta.com – PALU, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam Catatan Akhir Tahunnya mengatakan, sepanjang tahun 2020 sedikitnya telah terjadi 241 letusan konflik agraria struktural akibat praktek-praktek perampasan tanah dan penggusuran.

“Konflik tersebut tersebar di 359 kampung/desa, melibatkan 135.337 KK diatas tanah seluas 624.272,711 hektar. Letusan-letusan konflik tersebut terjadi di semua sektor,” ungkap Koordinator KPA Wilayah Sulawesi Tengah, Noval A. Saputra melalui keterangan persnya, Senin (29/3/2021).

Sektor perkebunan menjadi penyebab letusan konflik agraria struktural tertinggi sebanyak 122 letusan konflik, kedua sektor kehutanan 41, disusul Pembangunan Infrastruktur  30. Bisnis properti 20, Pertambangan 12, Fasilitas militer 11, Pesisir dan Pulau-pulau kecil 3 dan Agribisnis 2.

“Dari 241 keseluruhan konflik agraria struktural, sebanyak 69% terjadi di dua sektor klasik, yaitu perkebunan dan kehutanan. Sektor perkebunan, berdasarkan pemilikan badan usaha, konflik akibat perkebunan BUMN sebanyak 12 kasus dan perkebunan swasta sebanyak 106 kasus,” jelasnya.

Sementara jika berdasarkan komoditasnya, perkebunan sawit sebanyak 101 letusan. Selanjutnya diikuti perusahaan perkebunan komoditas tebu, karet, teh, kopi dan lainnya.

Data-data diatas sebagai refleksi dan proyeksi penyelenggara negara bahwa konflik agraria struktural di Indonesia dan secara khusus di Kabupaten Morowali Utara (Morut), Sulawesi Tengah (Sulteng) mengalami penambahan angka konflik dan durasi yang panjang, bukan penambahan angka penyelesaian.

Pada, 16 Februari 2021, Bupati Morowali Utara, Moh. Asrar Abd Samad bersama Kepala Desa Lee dengan masyarakat meninjau lokasi yang menjadi sengketa antara masyarakat Desa Lee dengan PT. SPN.

Bupati geram karena pihak PT.SPN tidak mengindahkan permintaan bupati melalui suratnya, sebelumnya, bupati telah mengirimkan surat kepada PT.SPN tertanggal 26 Oktober 2020, dengan nomor 180/0534/HKM/X/2020, perihal pemberitahuan. pertama, bahwa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 174/K/TUN/2020 yang ditetapkan pada tanggal 20 Mei 2020 merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap  (Inkracht Van Gewijsde) serta mengikat para pihak, dengan demikian wajib dipatuhi dan dilaksanakan.

Kedua, bahwa berdasarkan hal sebagaimana tersebut pada angka 1 diatas, maka dalam rangka menjaga stabilitas pelaksanaan pemerintahan di desa serta keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, diharapkan kiranya pihak PT.SPN menghentikan aktivitas perkebunan di wilayah Desa Lee, Kasingoli dan Gontara yang dijadikan objek sengketa dalam perkara tersebut diatas sebagai bentuk kepatuhan atas amar putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Kunjungan Bupati Morowali Utara tersebut disertai dengan pemasagan baliho yang bertuliskan Putusan Kasasi Mahkamah Agung dan pemagaran oleh masyarakat Desa Lee termasuk penggugat, pada lokasi menuju akses aktivitas perkebunan PT.SPN.

Sebelumnya, Pada 9 Februari 2021, DPRD Kabupaten Morowali Utara mengadakan RDP diruangan komisi 1, rapat tersebut dipimpin langsung oleh ketua DPRD dan dihadiri para pihak diantaranya Kepala Desa Lee bersama masyarakat dan pendamping (kuasa hukum dan KPA Wilayah Sulawesi Tengah), Asisten 1, Kabag Hukum, Anleg komisi 1, Pihak PT. SPN dan Jurnalis, Perwakilan Kantor Pertanahan Kabupaten Morowali Utara tidak hadir di RDP tersebut.

“Salah satu rekomendasi dari RDP tersebut yakni DPRD Kabupaten Morut akan berkordinasi dengan Kantah Kabupaten Morowali Utara dan Kanwil ATR/BPN Sulawesi Tengah,” kata Noval.

Tentu respon baik DPRD Kabupaten Morowali Utara telah memfasilitasi RDP bentuk dari kepedulian terhadap masyarakat Desa Lee mendapatkan antusias, namun pasca RDP tersebut hingga rilis ini diterima insan jurnalis belum ada langkah maju yang diterima masyarakat Desa Lee baik secara tulisan maupun pertemuan kembali hasil dari DPRD Kabupaten Morowali Utara sesuai rekomendasi RDP tertanggal 9 Februari 2021 tersebut.

Keseriusan, ketegasan dan keberpihakan DPRD Kabupaten Morowali Utara terhadap masyarakat kecil di perdesaan patut diragukan khususnya Desa Lee, bukan tanpa alasan, sejatinya DPRD Morut sudah melihat fakta yang ada, bahwa masyarakat Desa Lee mulai dari Pemdes, BPD, Lembaga Adat, tokoh perempuan dan tokoh pemuda secara tegas menolak adanya PT. SPN yang beraktivitas di Desa Lee, hingga melakukan aksi unjuk rasa di kantor-kantor penyelenggara negara baik di Provinsi maupun di Kabupaten serta yang paling miris harus menempuh jalur hukum di PTUN Palu.

Karena Desa Lee menjadi lokomotif perjuangan terhadap desa-desa lain. Dengan Fakta tersebut, fungsi pengawasan yang melekat pada DPRD Kabupaten Morowali Utara harus mengambil sikap tegas, bahwa institusi eksekutif yang berwenang dalam penyelenggaraan negara disektor perkebunan kelapa sawit.

Mulai dari perizinan yang harus diperketat sekaligus ditinjau kembali, jika proses penerbitan izin saja sudah bermasalah bagaimana dengan aktivitas dilapangannya, maka lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaat bagi masyarakat Desa Lee dan masyarakat Kabupaten Morut lainnya.

Masyarakat secara keseluruhan di Kabupaten Morut yang mengalami kondisi serupa dengan Desa Lee yakni masyarakat harus berhadap-hadapan dengan korporasi ekstraktif yang bekerja pada sektor perkebunan kelapa sawit dan sektor pertambangan.

Belum ada satupun konflik agraria struktural yang bisa terselesaikan di Kabupaten Morowali Utara, diantaranya Kecamatan Mori Atas, selain Desa Lee beberapa desa juga mengalami nasib yang serupa yakni Desa Londi, Desa Taende, Desa Peonea dan Desa Lanumor yang harus berhadap-hadapan dengan PT. SPN yang menyatakan bahwa masih bagian dari aset negara serta desa-desa di kecamatan berbeda yang berkonflik dengan korporasi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan lainnya.

Terbaru, 16 Maret 2021, warga Dusun Lambolo Desa Ganda-Ganda yang terdampak polusi pabrik PT.COR II, mengungsi di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Morowali Utara, sangat miris.

Berdasarkan fakta-fakta diatas, KPA Wilayah Sulawesi Tengah bersama kaum tani di Perdesaan Kabupaten Morowali Utara, mendesak DPRD Morut membentuk Panitia Penyelesaian Konflik Agraria. sebagai bentuk keseriusan dan ketegasan dalam menyelesaikan konflik agraria struktural.

“Jika desakan ini tidak indahkan, maka kami bersama kaum tani akan mengorganisir dan memobilisasi diri, untuk tumpah ruah dijalanan dan memenuhi Kota Kolonodale guna menyelesaikan konflik agraria versi rakyat,” tutup Noval. (Arman)

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan