oleh

IWD: Perempuan dalam Pusaran Sejarah, Kini dan Nanti

Oleh : Sri Nanda Dotutinggi

(Ketua Eksekutif Kota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Palu)

PALU – Pada tahun 1917, dalam rangka memperingati International Women’s Day (IWD), kaum perempuan dari berbagai profesi turun kejalanan Saint Petersburg untuk menyuarakan beragam masalah sosial yang terjadi di Russia.

Pada masa itu, Russia sedang dilanda krisis ekonomi hingga kelaparan, diperparah dengan keputusan Tsar yang turut melibatkan Russia dalam Perang Dunia I. Pasca gerakan tersebut, rangkaian unjuk rasa pun bergulir dan berakhir pada Revolusi Oktober yang meruntuhkan Dinasti Romanov dan Kekaisaran Russia.

Kisah tersebut adalah salah satu contoh dari betapa berpengaruhnya gerakan perempuan dalam sejarah dunia. Peringatan IWD harus menjadi refleksi bahwa gerakan perempuan tidak berhenti pada problem kesetaraan gender semata, tapi harus melampaui hingga kesetaraan ekonomi. Sebab problem ekonomi yang timpang merupakan akar masalah munculnya ketidaksetaraan dan langgengnya budaya patriarki.

Di tahun 2019, jumlah perempuan di parlemen di seluruh dunia baru sampai di angka 24,3%. Sedangkan, jabatan politik terutama kabinet, jumlah perempuan baru berkisar 20,7%.

Angka tersebut menandakan masih minimnya pelibatan kaum perempuan dalam mengakses ruang-ruang strategis penentu kebijakan. Selain itu, dalam konteks politik praktis, perempuan masih sebatas menjadi pelengkap aturan pencalonan partai dan strukturisasi organisasi. Fenomena seperti ini harus sudah lebih maju pada kesadaran peran kaum perempuan dalam memperjuangkan kebijakan-kebijakan publik yang berdampak pada kehidupan mereka, tidak berhenti sampai pada pelengkap legalitas formal partai politik.

Satu tahun belakang ini diwarnai aksi perempuan di seluruh Indonesia mengenai pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS).

Ini ironis, mengingat angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam lima tahun terakhir. Catatan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan, yang ditangani pengadilan agama dan yang ditangani lembaga mitra pengadaan layanan yang tersebar di sepertiga provinsi di Indonesia.

Meningkatnya angka kekerasan seksual tidak terlepas dari struktur ekonomi yang timpang akibat skema neoliberalisme yang dipraktikan negara. Belum lagi budaya kita yang sangat patriarki terus melanggengkan struktur ekonomi yang timpang, perempuan masih dianggap sebagai objek seksualitas.

Regulasi yang ada juga belum memberikan efek jera kepada pelaku kekerasan seksual, harusnya negara menjamin hal tersebut bukan meneken UU yang tidak pro terhadap kepentingan orang banyak, khususnya kaum perempuan.

Perempuan harus ikut dilibatkan dalam merumuskan kebijakan publik, kuota 30% dalam partai politik bukan saja soal kuantitas melainkan kualitas kesadaran kaum perempuan.

Upaya pelaksanaan kesetaraan bagi perempuan bukan hanya menjadi tugas perempuan itu sendiri, melainkan tugas setiap masyarakat, partai politik, juga negara lewat kebijakannya.

Partai Politik menjadi sangat penting dalam mengambil peran memperjuangkan kesetaraan perempuan. Sebab, di sana kualitas kesadaran pentingnya perjuangan politik perempuan itu dibentuk. Sehingga ketika Partai Politik mencalonkan kader dari kaum perempuan, Partai bukan sekedar mengikuti formalitas kepemiluan, melainkan mampu melahirkan kebijakan-kebijakan yang mensejahterakan serta pro terhadap perempuan.

Di Kota Palu sendiri, peran perempuan masih harus terus ditingkatkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan relasi sosial maupun jabatan-jabatan strategis, baik di level legislatif maupun eksekutif.

Sebagai kota yang sangat minim literasi, kebiasaan masyarakat kita masih berada di tahap percaya pada kehebatan dan kekuatan lelaki daripada perempuan itu sendiri. Suka atau tidak suka budaya patriarki di Kota Palu masih menjadi budaya bahkan mempengaruhi kebijakan-kebijakan publik.

Pada moment IWD kali ini, kaum perempuan harus terus berjuang tanpa lelah dalam memperjuangkan apa yang menjadi hak dasarnya sebagai warga negara sekaligus bagian dari sejarah perjuangan Indonesia. (*)

*Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab Penulis.

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan