oleh

Meretas Kegagalan Indonesia sebagai Bangsa yang Merdeka

Oleh : Azman Asgar

(Jubir DPW PRIMA Sulawesi Tengah)

PALU – Sudah hampir seabad deklarasi kemerdekaan Republik Indonesia dicetuskan lewat naskah proklamasi, gonjang-ganjing perekonomian, sosial dan politik terus mengalami perubahan yang sangat dinamis bahkan berakhir tragis.

Setengah abad dari usia kemerdekaan tidak berbarengan dengan kondisi ekonomi, sosial dan politik yang lebih baik. Sebaliknya, fenomena kemiskinan, ketidakadilan dan ancaman perpecahan sudah menjadi dagelan setiap harinya.

Masalahnya bukan pada cara kita berwarga negara, tak ada yang salah dengan itu semua, yang ada kesalahan dalam mengelola negara. Perilaku berwarga negara merupakan cerminan dari pengelolaan negara itu sendiri.

Memiliki sumber daya alam yang melimpah, populasi penduduk yang tinggi, tanah yang subur, wilayah yang sangat strategis merupakan modal utama kita menjadi negara paling makmur sedunia. Kesemuanya hanya prasyarat bukan keutamaan, sebab banyak negara-negara yang minim sumber daya alam, kondisi geografis yang tak strategis justru melejit menjadi negara yang bertanggung jawab terhadap rakyatnya, ambil saja contoh seperti negara Amerika Latin, Skandinavia atau yang lebih dekat seperti Vietnam.

Melihat fenomena yang terjadi, maka benarlah pendapat Daron Acemoglu dan James A. Robinson, bahwa Gagalnya sebuah negara tidak dilihat dari besar dan kecilnya sumber daya yang mereka miliki, atau letak geografis sebuah negara, tapi seberapa besar dan maksimalnya peran negara mengelolanya.

Bagi Acemoglu dan Robinson, kegagalan negara itu terletak pada dua hal, yakni institusi Politik yang otoritarianisme, Feodal dan Intitusi ekonomi yang ekstraktif.

Jika merujuk pada pendekatan teori Acemoglu dan Robinson, kedua syarat gagalnya sebuah negara itu masih bertahan hingga kini.

Institusi Politik

Setelah kemerdekaan, situasi ekonomi politik kita kian mengalami perubahan, semangat kemandirian dan kedaulatan tidak bernafas panjang setelah Sukarno digulingkan oleh Rezim si tangan besi. Otoritarianisme dengan wajah Orde Baru-nya menggilas semua yang dianggap berbeda dengan dalih menyelamatkan Pancasila.

Demokrasi Terpimpin beberubah menjadi totalitarianisme dimana militer sebagai penyokong utamanya. Kemandirian dan kedaulatan mulai dipreteli oleh modal asing, Kapitalisme kroni tampil sebagai pemenang.

Rezim yang sangat otoriter seperti Orde Baru sangat sulit mengantar Indonesia menjadi negara maju, indikatornya sangat terpenuhi. Kebebasan berekspresi diberangus, tak ada demokrasi, karya dan diskusi ilmiah ikut dilibas, dampaknya, potensi berkembangnya sumber daya manusia ikut tersumbat, hasilnya tenaga produktif kita terus terbelakang.

Setelah krisis, gerakan masa bergejolak dan Rezim Orde Baru runtuh, tidak lantas menjadikan kita benar-benar “Merdeka”, reformasi menjadi penanda di mulainya Demokrasi liberal di Indonesia di mana modal menjadi penentu utama dalam semua kehidupan sosial di masyarakat.

Menyadari pentingnya demokratisasi, kroni Orde Baru pun berbenah, lewat jalur Demokrasi Formal mereka membentuk satu kekuatan solid yang berkelindan langsung dengan kekuatan modal, jadilah mereka Oligarki yang menguasai ekonomi dan politik di tanah air sampai saat ini.

Kemasan yang kita lihat demokratis tadi, sejatinya berisikan watak institusi politik yang masih feodal, konservatif bahkan otoriter, sehingga di tangan mereka (oligarki) harapan menjadi negara maju dan sejahtera itu semakin buram.

Rezim Oligarki merupakan masalah yang kini membelenggu kemajuan peradaban kita, itu terlihat bagaimana hal-hal yang tadinya menjadi wilayah publik seperti Partai Politik, sumber daya alam, pendidikan, kesehatan justru dikuasai oleh segelintir kelompok yang punya modal dan korelasi dengan kekuasaan.

Di Partai Politik banyak kita jumpai “pemilik keputusan” sekaligus pemilik Partai, di Eksekutif juga demikian, watak Feodalisme masih mendarah daging, kekuasaan menjadi alat distribusi kesejahteraan ke sanak saudara atau kekerabatan terdekat, begitu seterusnya, sehingga institusi politik yang eksklusif menjadi penghambat kemajuan peradaban.

Institusi Ekonomi Ekstraktif

Ini juga menjadi masalah utama di negara kita, sejak kolonial Belanda dan Jepang mencaplok wilayah kekuasaannya di tanah air praktis pengelolaan ekonomi kita tak ada yang berubah hingga kini.

Sejak Nusantara hingga berganti Indonesia kita masih bertumpu pada pengelolaan ekonomi yang ekstraktif, kita tampil sebagai negara penyedia segala sumber daya, baik sumber daya manusia (buruh murah) dan Sumber daya alam bagi negara kolonial hingga imperialisme, penderitaan semakin lengkap ketika Indonesia menjadi pasar utama produksi negara-negara imperialisme.

Gaya ekonomi ekstraktif seperti ini juga belum bergesar hingga kini, sekalipun Rezim sudah silih berganti. Institusi Ekonomi ekstraktif dan institusi Politik yang eksklusif merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan, mengubah model perekonomian yang ekstraktif ke industrialis sama halnya mengubah status-quo menjadi lebih demokratis, pun sebaliknya.

Kedua model pembangunan ekonomi politik ini masih menjadi acuan setiap rezimnya, tak ada yang benar-benar baru atau bahkan lebih progresif. Alasannya cukup mudah dideteksi, kroni Orde Baru mampu beradaptasi dengan Demokrasi yang ada, bahkan lebih diuntungkan.

Institusi Politik eksklusif dan Ekonomi ekstraktif merupakan warisan kolonial yang masih di percaya memperpanjang nafas kroni-kroni Orde Baru di tanah air, seperti halnya kolonialisme dahulu merampok dan menghancurkan peradaban bangsa kita.

Partai alternatif adalah solusi

Jika melihat road map pembangunan Indonesia, belum ada yang berubah secara substantif, maka kehadiran Partai alternatif merupakan solusi terbaik yang harus disiapkan.

Perombakan institusi politik yang eksklusif dan ekonomi yang ekstraktif tidak bisa diharap dari gelaran pemilu setiap periodenya, apalagi semua kebijakan hingga pelaksana kebijakan lahir dari Partai-partai yang feodalistik dan tak punya ketegasan ideologi.

Kehadiran Partai Alternatif yang benar-benar berbeda, dengan identitas ideologis yang jelas, mandiri dan lebih demokratis menjadi harapan rakyat Indonesia di periode mendatang.

Kesadaran bersama merupakan langkah kongkrit dalam menjawab problem yang tengah kita hadapi, tidak cukup hanya dengan menggerutu sambil mencaci situasi yang ada, bukankah bergerak dan membangun syaratnya jauh lebih realistis?

*Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab Penulis.

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan