oleh

Guru Pembelajar Sejati

Oleh : Citra Racindy

(Ketua KOHATI Cabang Persiapan Deli Serdang)

Berapa jumlah guru tersisa? Pertanyaan itu dilontarkan Kaisar Hirohito beberapa hari setelah Nagasaki dan Hiroshima lulu lantah. Karena bom atom dijatuhkan di dua kota tersebut oleh tentara Amerika Serikat pada perang dunia II.

Penentu keberhasilan adalah pendidikan yang tentunya sangat berkaitan erat dengan peran dan fungsi guru. Semangat proklamasi 17 Agustus 1945 menjiwai penyelenggaraan Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24-25 November 1945 di Surakarta. Melalui kongres ini segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama dan suku, sepakat dihapuskan.

Mereka adalah guru-guru yang aktif mengajar, pensiunan guru yang aktif berjuang, dan pegawai pendidikan Republik Indonesia yang baru dibentuk. Mereka bersatu untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di dalam kongres inilah, pada tanggal 25 November 1945 – seratus hari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia – Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) didirikan.

Sejak Kongres Guru Indonesia itu, semua guru Indonesia menyatakan dirinya bersatu di dalam wadah PGRI. Untuk itulah sebagai penghormatan kepada guru, pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, menerapkan hari lahir PGRI tanggal 25 November sebagai hari guru nasional yang diperingati setiap tahun.

Namun disini penulis berharap selain dijadikan sebagai penghargaan, ada baiknya menjadi pokok refleksi. Dari zaman ke zaman pastilah kita mengalami sebuah perubahan. Namun perubahan yang seperti apa? Kita lihat saja praktik lapangan sekarang, bagaimana esensi dan eksistensi guru.

Guru sebagai seorang pendidik dituntut untuk selalu mawas diri. Selain harus memiliki kemampuan mengajar, sebagai praktisi guru harus mampu merefleksi apa yang dilakukannya. Guru adalah insan unik yang mempunyai potensi untuk melakukan perubahan-perubahan yang membangun.

Seorang guru kiranya dapat menjadi pembelajar sejati. Dengan semangat 45 seyogianya memiliki keinginan untuk terus belajar dan meningkatkan kompetensi profesionalnya demi peningkatan kualitas sistem pendidikan di Indonesia tanpa ada embel-embel untuk memperoleh selembar kertas sertifikat saja.

Perilaku guru dalam mendidik murid atau anak bangsa menjadi pegangan dan modal utama sehingga KHD menciptakan istilah yang kemudian sangat terkenal, yaitu:

  1. Ing ngarsa sung tulada (di muka memberi contoh),
  2. Ing madya mangun karsa (di tengah membangun cita-cita),
  3. Tut wuri handayani (mengikuti dan mendukungnya).

(Haidar Musyafa, 2015).

Tantangan dan hambatan pastilah sangat banyak ditemukan dalam menjalani profesi ini. Namun sebagai seorang pembelajar sejati ini bukan suatu hal yang harus dihindari. Walau beban administrasi kian hari semakin berlebih. Yang pada akhirnya membuat konsen seorang guru terpecah, bahkan mementingkan adminitrasi karena tutuntan dari mendidik dan mengajar demi masa depan bangsa.

Mengenang nasihat Alm. Mbah Noen, menjadi guru tidak usah memiliki niat untuk membuat pintar murid melainkan niatkan untuk mendidik dan menyampaikan ilmu. Dalam nasehat itu menyiratkan doa guru merupakan hal yang harus dilakukan dalam mendidik murid-muridnya. Sehingga murid-murid yang didik dapat menjadi lebih baik dan mendapat hidayah-Nya.

Dalam nasehat Mbah Moen yang paling hebat selanjutnya adalah seorang guru yang mendidik karena kelak di antara mereka akan menggandengnya menuju surga. Nasehat itu memberikan motivasi betapa mulianya seorang guru dalam mendidik. Dengan mendidik akan diberikan kemuliaan kelak di surga karena jerih payahnya dalam mendidik anak menjadi lebih baik.

Akhir kata, Jangan mencoba untuk memperbaiki murid atau siswa kita, perbaiki diri kita sendiri terlebih dahulu. Sebab, seorang guru itu adalah orang yang berani mengajar dengan tidak berhenti belajar.

Semangat untuk seluruh guru Indonesia. Bersama kita menjadikan Indonesia ke depannya lebih baik lagi. Penambah semangat penulis sajikan perkataan Ki Hajdar Dewantara “Jangan setengah hati menjadi guru, karena anak didik kita telah membuka sepenuh hatinya”.

*Opini ini merupakan sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan