oleh

Aliansi Masyarakat Adat Lambo: Sebenarnya yang Punya Tanah Itu Siapa?

celebesta.com – Nagekeo, Bupati Nagekeo, dr. Yohanes Don Bosco Do, M. Kes mempersilahkan masyarakat Rendu, Lambo dan Ndora yang terkena dampak pembangunan waduk Lambo mengajukan protes kepada pemerintah terkait proses pembangunan waduk yang saat ini sedang berjalan.

“Silahkan kalian protes, saya tidak melarang. Lakukan saja tetapi saya minta jangan menggangu proses yang sedang berjalan karena ini adalah program pusat,” kata Bupati Don di Ruang VIP Kantor Bupati Nagekeo (kemarin-red).

Menanggapi hal itu, Ketua FPPWL Bernadinus Gaso menegaskan masyarakat adat Rendu, Lambo dan Ndora sesungguhnya bukan menolak pembangunan waduk, melainkan menolak lokasi pembangunan yang ada di Lowo Se dengan berbagai pertimbangan yang sudah dipikirkan secara matang.

Menurut Ketua FPPWL, dengan menolak pembangunan waduk yang berlokasi di Lowo Se, masyarakat adat ketiga komunitas adat ini telah menyiapkan lokasi alternatif yaitu di Lowo Pebhu dan Malawaka sebagai solusi pembangunan yang berdampak sangat kecil terhadap keberlangsungan hidup masyarakat.

Kami sudah menyiapkan 2 lokasi alternatif tersebut jika pemerintah ingin melanjutkan pembangunan waduk di tanah ulayat kami tetapi untuk lokasi di Lowo Se, sampai kapan pun kami tidak akan pernah mengizinkannya.

“Bagaimana mungkin membangun waduk di tengah pemukiman warga dan harus mengorbankan masyarakat banyak!!?,” tegasnya.

Hal yang sama diungkapkan Hendrikus Kota, tokoh adat Labolewa itu menuturkan sejak awal ketika ada wacana pembangunan waduk Lambo sudah ada pro dan kontra dari masyarakat terhadap pembangunan waduk ini.

Namun pihak Aliansi Masyarakat Adat Lambo (AMAL) mengambil sikap menolak karena pembangunan waduk Lambo yang berlokasi di Lowo Se akan menenggelamkan tanah ulayat milik masyarakat adat.

Hendrikus Kota yang disapa Hengki Kota melanjutkan masyarakat adat terkena dampak disuruh mengajukan protes kepada pemerintah atau bersurat kepada Presiden tetapi pada kenyataannya protes telah disampaikan dan surat pun telah dikirimkan ke presiden.

Namun hingga saat ini tidak ada yang digubris malah masyarakat dipaksa untuk menerima pembangunan waduk walaupun menjadi korban pembangunan itu.

Hengki mengungkapkan, pemerintah seharusnya menahan diri untuk tidak melakukan aktivitas apa pun di lokasi yang diwacanakan untuk pembangunan waduk tersebut karena masih ada pro dan kontra di masyarakat. Namun situasi yang terjadi di lapangan sangat berbeda sehingga muncul perlawanan dari masyarakat yang menolak pembangunan waduk itu.

“Belum ada kesepakatan bersama dengan masyarakat adat sebagai pemilik tanah ulayat tetapi proses di lapangan berjalan terus. Sebenarnya yang punya tanah itu siapa?,”ujar Hengki tegas.

Ketua AMAL meminta agar pemerintah lebih mendengarkan aspirasi masyarakat yang terkena dampak karena masyarakat terkena dampak bukan membutuhkan uang melainkan tanah yang menjadi sumber kehidupannya.

“Sebagai petani, kami membutuhkan tanah sebagai sumber kehidupan kami. Uang masih bisa kami cari tetapi tanah, sekali terjual kami tidak mendapatkan apa-apa lagi,” ungkapnya.

Hengky juga mengaku kecewa dengan sikap bupati yang hanya mengedepankan pembangunan waduk dengan mengorbankan masyarakat adat setempat dan tidak mendengarkan aspirasi dan usulan dari masyarakat adat yang terkena dampak pembangunan itu.

Penulis: Welano (Kontributor NTT)

Editor: Redaktur

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan