oleh

Nantunu Manumpolei: Nikah Adat di Kaki Gunung Kamalisi

Oleh : Arman Seli*

Secara bahasa Nantunu berati memanggang, kemudian Manu berarti Ayam dan Mpolei atau LeiĀ  adalah darah ayam yang disembelih. Sementara itu, secara istilah Nantunu Manumpolei adalah proses nikah adat oleh kedua mempelai (Laki-laki dan Perempuan) yang akan melepas masa lajangnya.

Nantunu Manumpolei umumnya dilakukan di rumah adat (Bantaya) yang disaksikan oleh kedua belah pihak, baik keluarga laki-laki maupun perempuan.

Nantunu ManumpoleiĀ  menjadi wadah memohon kepada Sang Pencipta Langit dan Bumi agar kiranya kedua anak manusia yang disatukan dalam ikatan nikah adat diberikan kesehatan dan kedamaian dalam menjalani kehidupan rumah tangga.

Sebelum Nantunu Manumpolei terlebih menyepakati Givu yang harus dikeluarkan mempelai laki-laki kepada perempuan. Givu yang dimaksud disini bukanlah sanksi atas pelanggan pidana tetapi dalam istilah nikah adat Givu adalah menjadi syarat yang harus dikeluarkan oleh pihak laki-laki.

Selain itu juga ada pertimbangan Givu biasanya merujuk pada kedekatan keluarga kedua mempelai, makin dekat hubungan keluarga makin tinggi pula Givu yang harus dikeluarkan.

Adapun Givu yang dikeluarkan berupa piring putih, ayam dan lainnya. Kemudian jumlah Givu berdasarkan tradisi keluarga dan keputusan Totua Adat.

Kemudian untuk mengetahui nikah adat telah direstui oleh Leluhur dan Sang Pencipta di lihat dari hati ayam yang telah disembelih dan sudah melalui proses memanggil Roh Leluhur (Noviata). Jika baik hati ayam maka baik pula hubungan kedua mempelai dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Jika Givu tidak dikeluarkan masyarakat adat (suku kaili) percaya hal ini berdampak pada anak yang dilahirkan menderita penyakit tertentu begitupun pasangan suami/istri.

Apabila Givu terlalu berat maka totua adat memberi keringanan tetapi tidak mengurangi jumlah yang harus dikeluarkan, melainkan mengeluarkan dengan cara bertahap.

Berdasarkan Penelusuran Penulis, nikah adat ini masih berlaku bagi Suku Kaili yang masih memegang teguh adat istiadat di sejumlah tempat di kaki Gunung Kamalisi (Gawalise). Setelah prosesi nikah adat diselenggarakan, selanjutnya barulah proses nikah menurut negara berdasarkan kepercayaan dan keyakinan yang dianut komunitas adat.

*Penulis Adalah Biro Infokom AMAN Sulteng.

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan