oleh

Hutan Adat dalam Kacamata Budayawan

SIGI – Celebesku.com, Andreas Lagimpu (65) seorang budayawan asal Kulawi yang memberikan penjelasan terkait pentingnya mendorong percepatan hutan adat sebagai upaya membuka ruang untuk masyarakat hukum adat mengelola hutan berdasarkan kearifan lokal masyarakat setempat.

Toma Anto, sapaan akrabnya saat menghadiri workshop  percepatan hutan adat yang di selenggarakan oleh Karsa Institute dan Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro (OPANT) di Balai Desa Toro, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Selasa (29/10/2019) mengatakan bahwa Masyarakat hukum adat harus  berdaulat di tanah sendiri.

“Ketika kita bicara hutan adat tentu ada ruang hidup dan penghidupan dalamnnya”, ungkapnya.

Lanjut dia, hutan adat itu soal ruang penghidupan, sebagai masyarakat hukum adat yang tinggal di kawasan hutan atau di dalam hutan sudah memiliki tatanan dan  tertib sosial untuk  mengelolah sumber penghidupan itu.

Dirinya membagi dua tantangan masyarakat hukum adat saat ini, yaitu pertama dinamika Politik Negara begitu banyak produk hukum, kebijakan negara yang tumpah tindih yang hanya menimbulkam ambiguitas dalam implementasi. Kedua, intervensi pasar begitu deras menderah, menerpah semua konsep lokal dalam menata kehidupan manusia.

Ketika hutan adat sudah diakui maka masyarakat hukum adat harus mengelolah secara baik dan tetap menjaga, tetapi intervensi pasar ini juga akan mempengaruhi itu.

“Misalnya dia sudah punya 1 sampai 2 hektar kebun tetapi dia menginginkan lagi sampai 5 hektar di dalam hutan yang sama. Itukan juga tantangan”, tegasnya.

Prinsip kita menuntut hutan adat bukan  itu tetapi demi terpenuhinya  kebutuhan dasar rumah tangga. Menurutnya yang memotivasi untuk mendorong percepatan pengakuan hutan  adat karena ada ruang tertutup atau terpangkas oleh kebijakan negara dalam mengakses hutan, bukan hanya soal kayu tetapi ada juga non-kayu yang menjadi kebutuhan  tetapi tidak melupakan  keseimbangan ekologi.

Sambil tertawa toma anto mengatakan bahwa soal menjaga kelesatarian hutan  itu sudah diketahui oleh masyarakat hukum adat. Selain itu juga ia mengatakan bahwa Pemerintah menerjermahkan kata konservasi dalam dual hal (Jangan dan tidak boleh). Sehingga masyarakat hukum adat mengakses hutan sering di kriminalisasi. Dia mengatakan Seharusnya ada pengertian yang lebih utuh tentang konservasi.

Sementara itu dirinya juga menjelaskan dari segi aspek historis kampung tua itu adalah jejak nenek moyang karena disana ada fakta-fakta arkeologi itu bisa menjadi objek wisata, misalnya bisa dimasukkan menjadi eko-tourism Ngata Toro. Hanya saja saat ini sudah masuk dalam zona inti taman nasional.

“Itulah yang menjadi sejarah klaim kami bahwa benar adanya tentang kampung tua itu”, tutupnya. (AS)

Share

Komentar

Tinggalkan Balasan